Memang, Ramadhan itu ajang meningkatkan
kualitas ibadah, bukan kuantitas pengeluaran. Namun, jika kita kaitkan antara
“ibadah” dan “pengeluaran”, akan menjadi hal yang sama dalam hal sedekah, yaitu
pengeluaran yang bernilai ibadah. Sedekah di luar Ramadhan saja rutin, apalagi
di Bulan Ramadhan yang jelas-jelas pahalanya berlipat ganda, sehingga orang
akan cenderung memperbanyak sedekah di Bulan Ramadhan. Dengan demikian,
banyaknya permintaan akan barang atau jasa, bukan hanya dari konsumen yang langsung menikmati barang
atau jasa, melainkan juga konsumen yang membeli barang atau jasa untuk
keperluan sedekah.
Permintaan akan barang atau
jasa pada Bulan Ramadhan mengalami peningkatan mengingat ada banyak tradisi di
dalamnya, antara lain sahur on the road,
buka bersama, takjilan, baju baru, Tunjangan Hari Raya (THR), mudik, dan
fitrah. Setiap tradisi tersebut mempunyai sesuatu yang khas. Kekhasan
tersebutlah yang mendorong masyarakat untuk bisa menangkap peluang
berwirausaha.
Sahur
on the Road, Takjilan, dan Buka
Bersama
Sebenarnya, sahur on the road, takjilan, dan buka bersama
(buber) tidak jauh beda dengan makan bersama pada umumnya. Yang membedakan adalah
tentang waktu, tempat, dan hidangan. Sahur
on the road jelas pada waktu jelang Subuh di jalan, takjilan jelang Maghrib
di masjid, dan buber jelang Maghrib di rumah, restoran, atau sejenisnya.
Tentang hidangan, jelas ada yang
khas dalam ketiga kegiatan tersebut, yaitu kurma dan kolak. Hidangan yang khas
tersebut mendorong para produsen dan pedagang baik yang sudah ada maupun yang baru
memulai berdagang mulai melakukan penawaran terhadap calon konsumen. Biasanya, promo
kurma dilakukan jauh-jauh hari sebelum Ramadhan. sedangkan kolak rutin
dijajakan rutin setiap sore di pinggiran sepanjang jalan.
Baju
Baru
Kalau kita ingat lagu yang dibawakan
Dea Ananda, salah satu personel trio kwek-kwek di era-90an, kita pasti
mengiyakan lirik yang dibawakannya. Sepenggal lirik tersebut adalah:
“Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di hari
raya.”
Dalam lirik tersebut benar
menunjukkan memang ada kebiasaan masyarakat Indonesia mengenakan baju baru di
hari raya, Idul Fitri. Makna “baju” di sini tidak sebatas pada baju saja,
melainkan meluas menjadi berbagai macam sandang. Misalnya, celana, rok, sepatu,
sandal, kerudung, peci, dan sebagainya. Dari sinilah, muncullah banyak penjual
pakaian. Apalagi, di era olshop seperti sekarang ini. Cukup berbekal handphone
dan kuota internet, semua kalangan bisa berjualan pakaian.
Tunjangan
Hari Raya
Tunjangan Hari Raya (THR)
tidak selalu berbentuk cash money.
Ada beberapa perusahaan yang memilih memberikan parcel kepada karyawan dan
kliennya. Parcel tersebut biasanya berisi kebutuhan pokok dan pelengkap yang
biasanya digunaka pada bulan Ramadhan dan hari raya. Melihat tradisi ini, muncullah
jasa pembuatan parcel. Jasa tersebut pun tidak terbatas hanya membuatkan saja,
melainkan dari mulai pembelian bahan hingga pengantaran ke alamat yang dituju.
Fitrah
“Fitrah” memang berasal dari
Bahasa Arab yang salah satu artinya adalah keadaan yang suci. Namun, ada
pergeseran makna dalam momen lebaran di Indonesia. Pada saat lebaran, ada
tradisi bagi-bagi fitrah (uang saku) kepada anak-anak, baik anak sendiri, keponakan, cucu,
anak tetangga, maupun anak kerabat, khususnya anggota keluarga lainnya yang belum
bekerja. Biasanya, fitrah dibagikan berupa uang yang baru dicetak baik langsung
maupun dikemas dalam bentuk amplop. Dari tradisi ini, ada peluang untuk membuka
jasa penukaran uang baru. Ini bisa dilihat di pinggir-pinggir jalan raya banyak
orang yang membuka jasa penukaran uang baru.
Mudik
Mudik memang menggembirakan, tetapi
juga melelahkan. Menggembirakan karena bertemu dengan keluarga, terutama ayah
dan ibu yang telah lama berpisah untuk urusan tertentu di tempat perantauan.
Sebaliknya, dikatakan
melelahkan karena munculnya masalah
yang ditimbulkannya dari proses mudik tersebut –menjelang dan sesudah
lebaran—selalu sama: kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Dari kondisi ini,
masyarakat juga bisa menyediakan solusi dengan menjual barang atau jasa untuk
mendukung kelancaran dan kenyamanan pemudik.
Berbicara tentang mudik, pemerintah
pun juga punya tradisi berbenah tentang infrastruktur yang biasa dilalui pemudik.
Sebut saja, jalan tol atau bukan tol yang diperbaiki khusus untuk mempersiapkan
momen mudik. Dengan adanya perbaikan, wajarnya akan menimbulkan kemacetan yang
panjang dan berjam-jam. Kondisi yang membosankan ini, jelas memunculkan ide kreatif
para remaja di sekitar jalan tersebut untuk menyediakan jalan alternatif dengan
tarif tertentu.
Berdasarkan tradisi-tradisi di
atas, Ramadhan memang secara tidak langsung membentuk fenomena sosial yang
mendorong masyarakat untuk melihat dan merespon peluang usaha yang ada. Kondisi
inilah yang memunculkan banyak penjual dadakan. Bukan hanya dari kalangan
dewasa, melainkan anak-anak dan remaja. Apalagi, kewirausahaan sudah menjadi
mata pelajaran dan mata kuliah dalam proses pembelajaran di sekolah maupun
kampus. Lebih-lebih jika Ramadhan ini dijadikan momen penilaian proses
pembelajaran oleh guru maupun di dosen yang berdampak akan lebih banyak lagi
yang menjadi penjual dadakan.
Dengan adanya momen ini,
harapannya berwirausaha tidak hanya terbatas pada bulan Ramadhan saja. Sebaiknya
juga dilakukan dengan menganut prinsip going
concern yang menyatakan bahwa unit usaha dapat tetap beroperasi dalam jangka waktu ke depan. Jika memang benar-benar
terjadi, maka akan membantu pembangunan Indonesia, terutama dalam mengurangi pengangguran
dan mendukung pembangunan ekonomi. Ini sejalan dengan apa yang telah dikatakan
oleh salah satu tokoh ekonomi, Schumpeter, bahwa pengusaha merupakan inovator yang menjadi tokoh dalam mendorong pembangunan ekonomi.
(Helti Nur Aisyiah)