Kalau bisa dipermudah, mengapa harus
dipersulit? Prinsip inilah yang dijalankan oleh pengusaha ketika akan melakukan
pendekatan pada calon pelanggan. Bagi pemilik usaha atau minimal marketing
perusahaan, masyarakat adalah calon "kekasih". Dengan demikian,
pengusaha berpikir tentang bagaimana caranya memikat calon konsumen agar
tertarik untuk menggunakan barang atau jasa perusahaan.
Rupanya gaya memudahkan calon
pelanggan sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh setiap pelaku usaha. Salah
satunya adalah gojek. Hanya dengan genggaman tangan, touch aplikasi dari play store atau appstore , seseorang bisa
dengan mudah memanggil ojek di manapun dia berada. Namun, pedekate yang mulai memikat warga Solo ini mengalami banyak hambatan.
Dari mulai ungkapan keberatan hingga aksi bentrok yang nyata-nyata menolak
keberadaan gojek di area Solo.
Memahami konflik kepentingan antara
ojek online dan mode transportasi lainnya, sebenarnya ini sudah hal yang umum
dan pernah terjadi di masa lalu. Sebut saja taksi dan ojek non online yang saat
ini secara terang-terangan menolak adanya gojek sebenarnya juga menggeser mode
transportasi tradisional di masa lalu. Bedanya, kita sekarang ada di era
digital, sehingga apa saja yang dikeluhkan bisa langsung viral.
Kalau kita berselancar di media
sosial, banyak komentar pro dan kontra tentang keberadaan gojek. Komentar pro
notabene dilontarkan oleh para pelanggan gojek yang sudah mulai terpikat dengan
fitur layanan yang serba memudahkan konsumen, sedangkan komentar kontra
disampaikan oleh masyarakat yang empati terhadap nasib pelaku mode transportasi
yang merasa tersaingi oleh gojek. Sangat disayangkan jika kondisi ini hanya
sebatas komentar-komentar di media online maupun offline. Sebaiknya ada yang menampung
aspirasi warga melalui komentar-komentar tersebut.
Dalam kesempatan yang lalu, walikota
Solo membuat sebuah kebijakan ekonomi yang menyatakan bahwa gojek hanya
diijinkan beroperasi dalam pengangkutan barang, bukan penumpang. Namun,
sepertinya apa yang disampaikan walikota hanyalah angin lalu. Kondisi ini
dibuktikan dengan masih adanya gojek yang mengangkut penumpang.
Kalau kita membuka laman demi laman
dalam aplikasi gojek, pengiriman barang hanyalah fitur tambahan yang diberi
nama "go-send" untuk barang
dan "go-food" untuk
makanan. Dari kedua fitur tersebut, sepertinya go-food paling diminati. Fitur ini terbukti mampu menaikkan omzet
penyedia makanan. Bahkan, ada restoran yang menyarankan menggunakan go-food saja dengan alasan antrian
panjang jika makan di tempat. Dan memang benar, ada jalur khusus untuk pemesan
makanan via go-food. Ini sisi lain salah satu fitur gojek yang menarik. Namun
sejatinya, fitur yang paling utama memang mengangkut penumpang. Jika yang utama
dihapuskan, maka akan menghilangkan esensi dari gojek itu sendiri.
Mari Berdamai
Masing-masing lapisan masyarakat
pastinya sudah menunggu win-win solution
dari pemerintah daerah (pemda) agar konflik kepentingan tidak berlarut-larut.
Apalagi, ini menyangkut kehidupan ekonomi masyarakat yang sedang memanas,
terutama para lakon (transportasi online dan offline). Sudah bisa dipastikan
bahwa masyarakat Solo merindukan kedamaian dalam melakukan aktivitas ekonomi.
news.idntimes.com
Dalam situasi ini, sebaiknya pemda
benar-benar menjadi penengah. Bukan hanya pada satu elemen masyarakat saja
melainkan harus mencakup semua lapisan. Ditambah lagi, tidak hanya orang Solo
saja, melainkan orang perantauan yang kebetulan sedang menempuh studi, bekerja,
dan urusan lainnya yang mengharuskan mereka untuk tinggal di sini.
Mengakhiri konflik tidak cukup hanya
dengan mendatangkan kedua belah pihak, ojek online dan offline. Pemda hendaknya
juga melibatkan masyarakat baik yang pro maupun kontra dengan adanya gojek.
Untuk efisiensi, bisa dilakukan dengan
survey. Tentunya, ditujukan kepada
semua kalangan. Kalaupun harus memakai sampel, harus dipilah seobjektif
mungkin. Hal ini dikarenakan oleh sesuatu yang kita anggap sepele bisa jadi
sangat berarti bagi kalangan tersebut. Kepentingan masing-masing pihak berbeda,
tergantung dengan sudut pandang.
Cara paling mudah dalam melakukan survey adalah dengan menggandeng salah
satu penyedia layanan komunikasi dan lembaga riset. Penyedia layanan komunikasi
(provider) diikutkan untuk proses yang cepat, sedangan lembaga riset untuk
hasil yang tepat. Ini seperti e-voting,
tetapi bukan sekedar menjawab setuju atau tidak, melainkan juga bisa ditambahi
alasan yang logis.
Setelah data diperoleh, interpretasi
data hendaknya dilakukaan oleh profesional yang tidak memiliki kepentingan.
Dengan demikian, solusi yang terbentuk dari hasil survey benar-benar murni dari aspirasi warga Solo pada khususnya
dan warga perantauan pada umumnya.
Tulisan ini dimuat di UC News tanggal 17 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~
Tulisan ini dimuat di UC News tanggal 17 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~
No comments:
Post a Comment