Pages

Wednesday, 8 November 2017

Ojek Online yang Disayang dan Ditendang

Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit? Prinsip inilah yang dijalankan oleh pengusaha ketika akan melakukan pendekatan pada calon pelanggan. Bagi pemilik usaha atau minimal marketing perusahaan, masyarakat adalah calon "kekasih". Dengan demikian, pengusaha berpikir tentang bagaimana caranya memikat calon konsumen agar tertarik untuk menggunakan barang atau jasa perusahaan.

Rupanya gaya memudahkan calon pelanggan sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh setiap pelaku usaha. Salah satunya adalah gojek. Hanya dengan genggaman tangan, touch aplikasi dari play store atau appstore , seseorang bisa dengan mudah memanggil ojek di manapun dia berada. Namun, pedekate yang mulai memikat warga Solo ini mengalami banyak hambatan. Dari mulai ungkapan keberatan hingga aksi bentrok yang nyata-nyata menolak keberadaan gojek di area Solo.

Memahami konflik kepentingan antara ojek online dan mode transportasi lainnya, sebenarnya ini sudah hal yang umum dan pernah terjadi di masa lalu. Sebut saja taksi dan ojek non online yang saat ini secara terang-terangan menolak adanya gojek sebenarnya juga menggeser mode transportasi tradisional di masa lalu. Bedanya, kita sekarang ada di era digital, sehingga apa saja yang dikeluhkan bisa langsung viral.

Kalau kita berselancar di media sosial, banyak komentar pro dan kontra tentang keberadaan gojek. Komentar pro notabene dilontarkan oleh para pelanggan gojek yang sudah mulai terpikat dengan fitur layanan yang serba memudahkan konsumen, sedangkan komentar kontra disampaikan oleh masyarakat yang empati terhadap nasib pelaku mode transportasi yang merasa tersaingi oleh gojek. Sangat disayangkan jika kondisi ini hanya sebatas komentar-komentar di media online maupun offline. Sebaiknya ada yang menampung aspirasi warga melalui komentar-komentar tersebut.

Dalam kesempatan yang lalu, walikota Solo membuat sebuah kebijakan ekonomi yang menyatakan bahwa gojek hanya diijinkan beroperasi dalam pengangkutan barang, bukan penumpang. Namun, sepertinya apa yang disampaikan walikota hanyalah angin lalu. Kondisi ini dibuktikan dengan masih adanya gojek yang mengangkut penumpang. 

Kalau kita membuka laman demi laman dalam aplikasi gojek, pengiriman barang hanyalah fitur tambahan yang diberi nama "go-send" untuk barang dan "go-food" untuk makanan. Dari kedua fitur tersebut, sepertinya go-food paling diminati. Fitur ini terbukti mampu menaikkan omzet penyedia makanan. Bahkan, ada restoran yang menyarankan menggunakan go-food saja dengan alasan antrian panjang jika makan di tempat. Dan memang benar, ada jalur khusus untuk pemesan makanan via go-food. Ini sisi lain salah satu fitur gojek yang menarik. Namun sejatinya, fitur yang paling utama memang mengangkut penumpang. Jika yang utama dihapuskan, maka akan menghilangkan esensi dari gojek itu sendiri.

Mari Berdamai 
Masing-masing lapisan masyarakat pastinya sudah menunggu win-win solution dari pemerintah daerah (pemda) agar konflik kepentingan tidak berlarut-larut. Apalagi, ini menyangkut kehidupan ekonomi masyarakat yang sedang memanas, terutama para lakon (transportasi online dan offline). Sudah bisa dipastikan bahwa masyarakat Solo merindukan kedamaian dalam melakukan aktivitas ekonomi.

news.idntimes.com
Dalam situasi ini, sebaiknya pemda benar-benar menjadi penengah. Bukan hanya pada satu elemen masyarakat saja melainkan harus mencakup semua lapisan. Ditambah lagi, tidak hanya orang Solo saja, melainkan orang perantauan yang kebetulan sedang menempuh studi, bekerja, dan urusan lainnya yang mengharuskan mereka untuk tinggal di sini.

Mengakhiri konflik tidak cukup hanya dengan mendatangkan kedua belah pihak, ojek online dan offline. Pemda hendaknya juga melibatkan masyarakat baik yang pro maupun kontra dengan adanya gojek.

Untuk efisiensi, bisa dilakukan dengan survey. Tentunya, ditujukan kepada semua kalangan. Kalaupun harus memakai sampel, harus dipilah seobjektif mungkin. Hal ini dikarenakan oleh sesuatu yang kita anggap sepele bisa jadi sangat berarti bagi kalangan tersebut. Kepentingan masing-masing pihak berbeda, tergantung dengan sudut pandang.

Cara paling mudah dalam melakukan survey adalah dengan menggandeng salah satu penyedia layanan komunikasi dan lembaga riset. Penyedia layanan komunikasi (provider) diikutkan untuk proses yang cepat, sedangan lembaga riset untuk hasil yang tepat. Ini seperti e-voting, tetapi bukan sekedar menjawab setuju atau tidak, melainkan juga bisa ditambahi alasan yang logis. 

Setelah data diperoleh, interpretasi data hendaknya dilakukaan oleh profesional yang tidak memiliki kepentingan. Dengan demikian, solusi yang terbentuk dari hasil survey benar-benar murni dari aspirasi warga Solo pada khususnya dan warga perantauan pada umumnya.

Tulisan ini dimuat di UC News tanggal 17 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~

No comments: