Pages

Saturday, 1 July 2017

Nasionalisasi Ekonomi


Pasca mendengar pidato dari Presiden di momen Hari Kesaktian Pancasila, 1 Juni 2017, banyak yang ikut menyuarakan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” dengan lantang. Saya sangat terkesima dengan pilihan kata dalam pidato Bapak Jokowi. Indah sekali. Dalam tataran pragmatik, kalimat tersebut secara tidak langsung mampu membangkitkan kembali siapa jati diri bangsa ini, mampu mengembalikan dan meningkatkan kecintaan warga terhadap negaranya. Apalagi, pidato tersebut diucapkan di sela-sela kondisi Indonesia yang sedang “ramai” akhir-akhir ini.

Sebagai insan yang bergelut di bidang ekonomi, tentunya tergelitik untuk juga memikirkan bagaimana mengaplikasikan kalimat “Saya Indonesia, Saya Pancasila” ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak hanya di mulut saja. Sejatinya, setiap bangsa Indonesia akan kembali nasionalis tingkat tinggi setelah ada ‘benturan’ yang mengganggu keharmonisan bangsa. Bahkan, tingkat nasionalisnya akan lebih tinggi.

Salah satu contoh aplikasi “Saya Indonesia, Saya Pancasila” dalam bidang ekonomi adalah dengan nasionalisasi ekonomi. Nasionalisasi ekonomi diartikan bukan hanya dengan cara cinta produk-produk Indonesia yang kadang diartikan juga dengan menghindari produk-produk luar negeri. Memang, boikot terhadap produk tertentu yang selama ini digaungkan oleh komunitas tertentu sebenarnya ada baiknya, tetapi itu baiknya hanya berlaku bagi pengguna barang atau jasa (konsumen) dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional.

Berbeda dengan konsumen, jika produsen menghindari produk-produk luar negeri, itu akan menjadi langkah yang kurang tepat. Alangkah baiknya produsen tersebut mendekati produk-produk tersebut, terutama yang diminati oleh masyarakat. Pendekatan dilakukan dengan tujuan riset, untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap produk tersebut dan mengapa masyarakat bisa ‘jatuh hati’ pada produk tersebut.

Dengan adanya riset, produsen dapat menentukan langkah selanjutnya dalam memproduksi barang yang minimal sama dan maksimal mampu melebihi dari kualitas barang tersebut. Di sinilah peran inovasi. Inovasi pada level terendah dapat menggunakan jurus ATM, yaitu Amati, Tiru, dan Modifikasi. Namun, untuk ke depannya, diharapkan bisa dilakukan inovasi pada level menengah hingga tinggi yang mengedepankan hal-hal yang baru, bukan hanya menyajikan yang beda.

Satu lagi pelaku kegiatan ekonomi selain konsumen dan produsen adalah distributor. Peran pelaku strategis ini dalam nasionalisasi ekonomi bisa menyalurkan hasil produksi tidak hanya di wilayah Indonesia saja, melainkan ke seluruh dunia. Apalagi, sekarang sudah masuk era globalisasi dan teknologi informasi. Cukup dengan membuka smartphone, dunia ada di genggaman kita, artinya kita sudah bisa berinteraksi dengan siapa pun dan di mana pun, termasuk masyarakat luar negeri.

Inilah maksud nasionalisme yang sesungguhnya, yaitu bagaimana kita berkiprah untuk Indonesia pada ranahnya masing-masing. Namun, bertindak pun tidak dengan sekadarnya, melainkan dengan cerdas dan penuh persiapan, sehingga ouput dan outcome dari apa yang diusahakan maksimal. 

Ada beberapa langkah untuk mendukung nasionalisasi ekonomi di era global ini. Pertama, melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats) dengan penuh kehati-hatian, mendalam, dan terbuka. Kehati-hatian diperlukan karena bisa jadi kita menganggap sesuatu sebagai ancaman, padahal bisa jadi masa yang akan datang menjadi peluang. Mendalam juga dibutuhkan karena analisis yang kita susun tidak hanya untuk beberapa waktu saja, melainkan untuk waktu yang panjang sesuai dengan prinsip kelangsungan usaha, yaitu perusahaan berdiri dengan asumsi tidak ada harapan untuk berhenti (bangkrut), sehingga hal-hal yang rinci pun harus dipikirkan. Terbuka juga penting dilakukan mengingat manusia dengan subyektivitasnya rentan salah dalam menilai, sehingga perlu adanya Quality Control (QC). Dengan adanya QC, harapanya bisa meminimalisasi kesalahan analisis. 

Kedua, menambah dan meningkatkan kemampuan berbahasa. Melebarkan sayap, bukan sekedar pergi ke daerah yang lebih luas tanpa persiapan yang matang. Bayangkan jika kita warga Indonesia pergi ke suatu tempat yang di sana tidak ada sama sekali manusia yang bisa berbahasa Indonesia. Tamatlah riwayat kita, kecuali jika kita bisa menyamakan persepsi. Keadaan inilah yang dirasa penting bagi warga negara Indonesia di era global ini juga memperdalam bahasa asing, minimal bahasa kesepakatan dunia, yaitu Bahasa Inggris.

Ketiga, beradaptasi dengan teknologi. Teknologi yang makin hari makin banyak baiknya dipelajari dan dimanfaatkan untuk keperluan analisis produk dan pemasaran. Namun, kemampuan mengoperasikan teknologi bukan hal yang mutlak. Artinya, cukup dengan bekerja sama dengan rekanan yang ahli di bidang teknologi informasi untuk merealisasikan konsep yang dingikan.

Keempat, mempelajari regulasi antarnegara. Untuk melakukan kegiatan yang lebih luas lagi, alangkah baiknya memperdalam keilmuan tentang syarat dan proses distribusi antarnegara akan seperti apa. Harapannya, konsep akan sesuai dengan kondisi real baik negara asal maupun tujuan ekspor.

Jika barang dan jasa dari Indonesia sudah benar-benar mampu merajai dunia, timbullah rasa puas dan bangga akan identitas diri sebagai bagian dari Indonesia. Kesungguhan berkegiatan dengan landasan kecintaan kepada Indonesia, maka nasionalisme itu pun akan terwujud dengan sendirinya. Sekali lagi, “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.

(Helti Nur Aisyiah)


No comments: