Pasca mendengar pidato dari
Presiden di momen Hari Kesaktian Pancasila, 1 Juni 2017, banyak yang ikut
menyuarakan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” dengan lantang. Saya sangat
terkesima dengan pilihan kata dalam pidato Bapak Jokowi. Indah sekali. Dalam
tataran pragmatik, kalimat tersebut secara tidak langsung mampu membangkitkan
kembali siapa jati diri bangsa ini, mampu mengembalikan dan meningkatkan
kecintaan warga terhadap negaranya. Apalagi, pidato tersebut diucapkan di
sela-sela kondisi Indonesia yang sedang “ramai” akhir-akhir ini.
Sebagai insan yang bergelut di
bidang ekonomi, tentunya tergelitik untuk juga memikirkan bagaimana mengaplikasikan
kalimat “Saya Indonesia, Saya Pancasila” ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
tidak hanya di mulut saja. Sejatinya, setiap bangsa Indonesia akan kembali
nasionalis tingkat tinggi setelah ada ‘benturan’ yang mengganggu keharmonisan
bangsa. Bahkan, tingkat nasionalisnya akan lebih tinggi.
Berbeda dengan konsumen, jika produsen
menghindari produk-produk luar negeri, itu akan menjadi langkah yang kurang
tepat. Alangkah baiknya produsen tersebut mendekati produk-produk tersebut,
terutama yang diminati oleh masyarakat. Pendekatan dilakukan dengan tujuan
riset, untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap produk tersebut
dan mengapa masyarakat bisa ‘jatuh hati’ pada produk tersebut.
Dengan adanya riset, produsen
dapat menentukan langkah selanjutnya dalam memproduksi barang yang minimal sama
dan maksimal mampu melebihi dari kualitas barang tersebut. Di sinilah peran inovasi.
Inovasi pada level terendah dapat menggunakan jurus ATM, yaitu Amati, Tiru, dan
Modifikasi. Namun, untuk ke depannya, diharapkan bisa dilakukan inovasi pada level
menengah hingga tinggi yang mengedepankan hal-hal yang baru, bukan hanya
menyajikan yang beda.
Satu lagi pelaku kegiatan
ekonomi selain konsumen dan produsen adalah distributor. Peran pelaku strategis
ini dalam nasionalisasi ekonomi bisa menyalurkan hasil produksi tidak hanya di
wilayah Indonesia saja, melainkan ke seluruh dunia. Apalagi, sekarang sudah
masuk era globalisasi dan teknologi informasi. Cukup dengan membuka smartphone, dunia ada di genggaman kita,
artinya kita sudah bisa berinteraksi dengan siapa pun dan di mana pun, termasuk
masyarakat luar negeri.
Inilah maksud nasionalisme
yang sesungguhnya, yaitu bagaimana kita berkiprah untuk Indonesia pada ranahnya
masing-masing. Namun, bertindak pun tidak dengan sekadarnya, melainkan dengan
cerdas dan penuh persiapan, sehingga ouput
dan outcome dari apa yang diusahakan maksimal.
Ketiga, beradaptasi dengan
teknologi. Teknologi yang makin hari makin banyak baiknya dipelajari dan
dimanfaatkan untuk keperluan analisis produk dan pemasaran. Namun, kemampuan
mengoperasikan teknologi bukan hal yang mutlak. Artinya, cukup dengan bekerja
sama dengan rekanan yang ahli di bidang teknologi informasi untuk merealisasikan
konsep yang dingikan.
Keempat, mempelajari regulasi
antarnegara. Untuk melakukan kegiatan yang lebih luas lagi, alangkah baiknya
memperdalam keilmuan tentang syarat dan proses distribusi antarnegara akan
seperti apa. Harapannya, konsep akan sesuai dengan kondisi real baik negara
asal maupun tujuan ekspor.
Jika barang dan jasa dari
Indonesia sudah benar-benar mampu merajai dunia, timbullah rasa puas dan bangga
akan identitas diri sebagai bagian dari Indonesia. Kesungguhan berkegiatan
dengan landasan kecintaan kepada Indonesia, maka nasionalisme itu pun akan
terwujud dengan sendirinya. Sekali lagi, “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.
(Helti Nur Aisyiah)
No comments:
Post a Comment