Pages

Sunday, 4 December 2016

USBN: Formalitas atau Solusi

Kebijakan berubah itu hal yang biasa. Apalagi, perubahan tersebut setelah adanya perubahan pemegang wewenang. Perubahan identik dengan hal yang belum ada sebelumnya atau hasil modifikasi kebijakan sebelumnya. Apapun itu, pasti ada pro kontra terkait suatu yang baru tersebut. Baru itu seru, responsif, dan kadang masif. Apalagi, ini menyangkut hajat hidup orang banyak, banyak kalangan. Sebut saja ujian nasional (UN). Tidak hanya siswa saja yang berkepentingan. Banyak stakeholder yang menyertainya: personal dari keluarga, sekolah, bimbel, perguruan tinggi, dan pemangku bisnis di lingkungan pendidikan (misalnya, penerbit buku pelajaran).

Orang tua. Pihak yang paling berempati terhadap siswa. Dengan dihapuskannya UN, ada kelegaan di sana, terutama bagi orang tua yang anaknya termasuk kategori pemilik kecerdasan otak kanan. Mengingat mapel-mapel yang diujikan selama UN ada daerah otak kiri, siswa yang cenderung otak kanan kadang merasa tertekan. Kalau USBN, benar-benar diterapkan, siswa tidak lagi terpacu pada mapel-mapel tertentu. Siswa akan cenderung memaksimalkan hasil tes yang diminatinya. Apalagi, jika hasilnya nanti sebagai pemetaan masuk perguruan tinggi.

Di sekolah, proses pembelajaran semester gasal hampir usai. Persiapan-persiapan kelulusan sudah disusun dengan asumsi masih dibelakukannya UN. Serius? Iya. Bayangkan saja, sampai detik ini sudah ada uji coba UN sebanyak dua kali putaran. Aturan main masih sama, mapel khusus UN, dikerjakan di lab komputer, dan ada shift-shift-an. Ribet nggak kira-kira? Jangan tanya. Jawaban tersirat dengan kita melihat mimik tim kurkulum sekolah. Pasti mereka kemrungsung, grusa-grusu antara tugas akademik dan mengajar. Wah, kalau tiba-tiba USBN benar-benar deal, bisa gayeng pol ini. Sistem yang sudah didesain sedemikian hingga dengan seketika harus berubah. Jadwal kurikulum yang sudah disesuaikan dengan agenda kesiswaan bisa amburadul. Kalau sudah begini, mau ngapain. Sekolah hanya ngikut aturan dinas pendidikan kotamadya/ kabupaten. Dinas setempat manut dinas pendidikan propinsi. Dan, propinsi mutlak patuh kepada kemendiknas pusat. Ini baru satu stakeholder.

Bimbel. Salah satu mitra terdekat sekolah. Ada yang bilang keberadaannya sangat membantu dalam pencapaian tujuan sekolah, yakni nilai tertinggi UN mengingat sekarang brosur-brosur bimbel menayangkan daftar siswa peraih nilai UN tertinggi. Namun, ada juga yang tidak suka dengan keberadaan bimbel. Mungkin karena merasa ada pesaing calon pendaftar les privatnya, pernah ditolak saat melamar pekerjaan sebagai tutor bimbel, bahkan ada juga yang sinis dengan metode cepat ala bimbel. Ada saja alasan untuk menolak bimbel. Terlepas dari menerima atau menolak keberadaan bimbel, sekolah dan bimbel secara tidak langsung memiliki visi yang sama. Dengan demikian, kebijakan pusat yang menggoyahkan internal sekolah, bisa berdampak ke sistem akademik bimbel juga. Misalnya, jika USBN resmi dilaksanakan, maka bimbel juga harus menyediakan tutor-tutor mapel selain UN. Parahnya lagi, jika customer bimbel ada siswa pondok atau sekolah Islam terpadu, bisa jadi akan ada perekrutan guru-guru mapel agama. Di satu sisi, biaya operasional harus dianalisis ulang. Di sisi lain, ada angin segar bagi lulusan perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Agama. Peluang pekerjaan akan semakin luas walaupun nanti juga berdampak ke jadwal mengajar tutor-tutor UN.

Stakeholder selanjutnya adalah perguruan tinggi. Tim seleksi penerimaan mahasiswa, khususnya jalur undangan harus berpikir lebih keras lagi. Sebaiknya, poin-poin penilaian juga diperluas dari yang hanya beberapa mapel menjadi semua mapel. Itu baru tentang mapel, belum jika sekolah pendaftar ada banyak jenis: sekolah negeri, sekolah berbasis agama, sekolah kejar paket, bahkan pondok pesantren. Sistem harus diubah dan pastinya akan banyak anggaran.

Yang terakhir, pemegang kekuasaan bisnis di lingkungan pendidikan. Pernah suatu kali saya mendengar suatu percetakan rugi besar akibat pemberlakukan kurikulum 2013 yang mana di sana ada mapel wajib dan minat. Kurikulum disahkan setelah buku dicetak dan siap untuk didistribusikan. Alhasil, banyak penolakan. Dari yang awalnya langganan menjadi berpikir ulang. Kalau sudah begini, laba perusahaan menjadi taruhan. Padahal, di sana banyak karyawan yang juga dipikirkan tentang insentifnya.

Lantas, apakan USBN pas untuk dijalankan? Saya yakin orang-orang pemangku jabatan lebih paham tentang output dan outcome. Saran saya, keputusan jadi tidaknya sebaiknya dalam waktu dekat ini, sehingga para siswa lebih siap dari materi maupun psikologi.

No comments: