Pasca momen bersejarah, 411 dan 212, yang juga tercatat di media internasional, kicauan di social media semakin brutal dan beringas. Berderet-deret emosi tercurahkan dalam sebuah status. Entah apa yang ada di benak mereka. Ironisnya, cuitan demi cuitan yang mainstream keluar dari ketikan tangan penikmat ilmu akhirat oriented. Niatnya baik, menggiring netizen agar kembali kepada aturan Sang Malik. Namun, bahasa yang digunakan terlalu menghujam hati hingga tak jarang membuat sakit hati. Contoh riil, seseorang menggunakan kalimat retoris memancing netizen untuk berpikir kritis dengan kepura-puraannya yang seolah tidak tahu. Misalnya, "beneran tanya lho ini." Padahal, sang pemilik status paham betul jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan. Gemes kan?
Mencari simpati itu sangatlah mudah. Cukup merangkai kata demi kata dipoles dengan mindset yang provokatif. Sayangnya, menyusun kalimat itu tidaklah semudah berbicara. Ada perbedaan intonasi di sana. Bagi penulis mungkin halus, tapi bagi pembaca bisa jadi mengarah ke sarkasme. Ya, begitulah media tulisan dirasa lebih rumit dipahami dari pada media lisan yang dibawakan dengan penuh ekspresi.
Alangkah baiknya, kecerdasan spiritual dan sosial jangan dipisahkan. Pandai menerima ilmu sebaiknya juga diikuti dengan kepandaian bersosialisasi. Eman-eman kan kalau kemadhorotan hanya berguna untuk diri-sendiri. Tentunya dengan cara yang pas. Kalau sudah begitu, berarti seseorang telah mengaplikasikan kemanfaatan bagi orang lain.
No comments:
Post a Comment