Kata "abal-abal" sering digunakan untuk memberikan predikat kepada sesuatu yang tidak sungguhan atau hanya sekedar formalitas. Ada kampus abal-abal, ada mahasiswa abal-abal, dan segala hal yang bisa disebut abal-abal karena kita memandangnya dengan sebelah mata.
Pagi ini tadi, saya didatangi oleh tim suksesi disertasi calon doktor di sebuah perguruan tinggi negeri. Mereka jauh-jauh datang menemui saya untuk meminta bantuan agar mahasiswa saya mau menyebarkan angket ke seluruh akademisi dan mahasiswa se-kotamadya di mana saya tinggal. Kebetulan, disertasinya menggunakan objek provinsi di mana saya berada.
Ada hal yang janggal ketika saya menanyakan judul. Dia menyebutkan satu kata, yaitu PTS. Saya heran. Dalam hati saya "loh, kan saya bekerja di instansi negeri". Sepertinya memang ada yang tidak beres. Dialog demi dialog mengalir begitu saja. Dan pada akhirnya, ada penekanan kalimat "Ah, mbaknya tau sendirilah gimana nantinya. Yang penting terisi. Ndak balik semua juga ndak apa-apa."
Haduh, ini selevel doktor lho. Kok bisa-bisanya menggampangkan disertasi. Kalau bahasa kerennya, bisa dimanipulasi. Kalau prosesnya saja sudah begitu, bagaimana dengan hasilnya. Layakkah hasil penelitian yang di-"belok"-kan dapat menjadi saksi bisu title kedoktorannya?
Saya jadi berpikir ke arah generalisasi penelitian. Jangan-jangan memang sudah tidak ada lagi penelitian kuantitatif yang murni hasil dari lapangan. Jangan-jangan skripsi, thesis, dan disertasi hanya dijadikan formalitas demi kelulusan. Padahal, hasil penelitian sering dijadikan acuan penelitian setelahnya. Kalau penelitian sebelumnya saja sudah terkontaminasi oleh konflik kepentingan, bagaimana dengan penelitian setelahnya.
Yah, semoga saja segera tersolusikan masalah yang sudah mengakar sejak lama. Kasihan juga, mahasiswa yang mengidolakan dosen dengan title tertentu, ternyata hanya abal-abal. Kecewa.
Monday, 26 December 2016
Sunday, 18 December 2016
Cerdas Spiritual dan Sosial
Pasca momen bersejarah, 411 dan 212, yang juga tercatat di media internasional, kicauan di social media semakin brutal dan beringas. Berderet-deret emosi tercurahkan dalam sebuah status. Entah apa yang ada di benak mereka. Ironisnya, cuitan demi cuitan yang mainstream keluar dari ketikan tangan penikmat ilmu akhirat oriented. Niatnya baik, menggiring netizen agar kembali kepada aturan Sang Malik. Namun, bahasa yang digunakan terlalu menghujam hati hingga tak jarang membuat sakit hati. Contoh riil, seseorang menggunakan kalimat retoris memancing netizen untuk berpikir kritis dengan kepura-puraannya yang seolah tidak tahu. Misalnya, "beneran tanya lho ini." Padahal, sang pemilik status paham betul jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan. Gemes kan?
Mencari simpati itu sangatlah mudah. Cukup merangkai kata demi kata dipoles dengan mindset yang provokatif. Sayangnya, menyusun kalimat itu tidaklah semudah berbicara. Ada perbedaan intonasi di sana. Bagi penulis mungkin halus, tapi bagi pembaca bisa jadi mengarah ke sarkasme. Ya, begitulah media tulisan dirasa lebih rumit dipahami dari pada media lisan yang dibawakan dengan penuh ekspresi.
Alangkah baiknya, kecerdasan spiritual dan sosial jangan dipisahkan. Pandai menerima ilmu sebaiknya juga diikuti dengan kepandaian bersosialisasi. Eman-eman kan kalau kemadhorotan hanya berguna untuk diri-sendiri. Tentunya dengan cara yang pas. Kalau sudah begitu, berarti seseorang telah mengaplikasikan kemanfaatan bagi orang lain.
Mencari simpati itu sangatlah mudah. Cukup merangkai kata demi kata dipoles dengan mindset yang provokatif. Sayangnya, menyusun kalimat itu tidaklah semudah berbicara. Ada perbedaan intonasi di sana. Bagi penulis mungkin halus, tapi bagi pembaca bisa jadi mengarah ke sarkasme. Ya, begitulah media tulisan dirasa lebih rumit dipahami dari pada media lisan yang dibawakan dengan penuh ekspresi.
Alangkah baiknya, kecerdasan spiritual dan sosial jangan dipisahkan. Pandai menerima ilmu sebaiknya juga diikuti dengan kepandaian bersosialisasi. Eman-eman kan kalau kemadhorotan hanya berguna untuk diri-sendiri. Tentunya dengan cara yang pas. Kalau sudah begitu, berarti seseorang telah mengaplikasikan kemanfaatan bagi orang lain.
Sunday, 11 December 2016
Perlukah Memiliki Asisten Rumah Tangga?
Judul kali ini mengarah pada kamu hawa yang 'nyambi', Ibu rumah tangga sambil kerja. Kerja, entah kantoran, mengajar, atau jualan, bukan lagi hal yang mustahil selama ada asisten. Ngomong-ngomong tentang asisten, ini makhluk yang paling istimewa. Secara garis wewenang sih dia bawahan, tapi prakteknya malag sebaliknya. Harusnya kita yang ngatur, malah kadang kita yang diatur. Tidak secara eksplisit sih, tapi pastinya pahamlah maksud dari kalimat yang dia lontarkan. Lhawong tiap hari berdamai dengan polah tingkahnya.
Asisten itu sebuah dilema tersendiri. Dihalusi, menyepelekan. Dikasari, eeee kabur. Nah lo, serba salah bukan... Kalau lagi nggak ingat kalau rumah itu bukan perusahaan yang dengan gampang cari karyawan, bisa kecolongan kita. So, hati-hati deh sama yang namanya asisten. Apalagi, kalau kitanya udah klik & klop sama dia. Mendingan ngalah dari pada kita musti door to door lagi, nyariiiii lagi. Mangkenye, koe kudu setrong alias kamu harus kuat. Kuat nahan emosi pas si dia nggak sesuai dengan keinginanmu.
Asisten itu sebuah dilema tersendiri. Dihalusi, menyepelekan. Dikasari, eeee kabur. Nah lo, serba salah bukan... Kalau lagi nggak ingat kalau rumah itu bukan perusahaan yang dengan gampang cari karyawan, bisa kecolongan kita. So, hati-hati deh sama yang namanya asisten. Apalagi, kalau kitanya udah klik & klop sama dia. Mendingan ngalah dari pada kita musti door to door lagi, nyariiiii lagi. Mangkenye, koe kudu setrong alias kamu harus kuat. Kuat nahan emosi pas si dia nggak sesuai dengan keinginanmu.
Sunday, 4 December 2016
USBN: Formalitas atau Solusi
Kebijakan berubah itu hal yang biasa. Apalagi, perubahan tersebut setelah adanya perubahan pemegang wewenang. Perubahan identik dengan hal yang belum ada sebelumnya atau hasil modifikasi kebijakan sebelumnya. Apapun itu, pasti ada pro kontra terkait suatu yang baru tersebut. Baru itu seru, responsif, dan kadang masif. Apalagi, ini menyangkut hajat hidup orang banyak, banyak kalangan. Sebut saja ujian nasional (UN). Tidak hanya siswa saja yang berkepentingan. Banyak stakeholder yang menyertainya: personal dari keluarga, sekolah, bimbel, perguruan tinggi, dan pemangku bisnis di lingkungan pendidikan (misalnya, penerbit buku pelajaran).
Orang tua. Pihak yang paling berempati terhadap siswa. Dengan dihapuskannya UN, ada kelegaan di sana, terutama bagi orang tua yang anaknya termasuk kategori pemilik kecerdasan otak kanan. Mengingat mapel-mapel yang diujikan selama UN ada daerah otak kiri, siswa yang cenderung otak kanan kadang merasa tertekan. Kalau USBN, benar-benar diterapkan, siswa tidak lagi terpacu pada mapel-mapel tertentu. Siswa akan cenderung memaksimalkan hasil tes yang diminatinya. Apalagi, jika hasilnya nanti sebagai pemetaan masuk perguruan tinggi.
Di sekolah, proses pembelajaran semester gasal hampir usai. Persiapan-persiapan kelulusan sudah disusun dengan asumsi masih dibelakukannya UN. Serius? Iya. Bayangkan saja, sampai detik ini sudah ada uji coba UN sebanyak dua kali putaran. Aturan main masih sama, mapel khusus UN, dikerjakan di lab komputer, dan ada shift-shift-an. Ribet nggak kira-kira? Jangan tanya. Jawaban tersirat dengan kita melihat mimik tim kurkulum sekolah. Pasti mereka kemrungsung, grusa-grusu antara tugas akademik dan mengajar. Wah, kalau tiba-tiba USBN benar-benar deal, bisa gayeng pol ini. Sistem yang sudah didesain sedemikian hingga dengan seketika harus berubah. Jadwal kurikulum yang sudah disesuaikan dengan agenda kesiswaan bisa amburadul. Kalau sudah begini, mau ngapain. Sekolah hanya ngikut aturan dinas pendidikan kotamadya/ kabupaten. Dinas setempat manut dinas pendidikan propinsi. Dan, propinsi mutlak patuh kepada kemendiknas pusat. Ini baru satu stakeholder.
Bimbel. Salah satu mitra terdekat sekolah. Ada yang bilang keberadaannya sangat membantu dalam pencapaian tujuan sekolah, yakni nilai tertinggi UN mengingat sekarang brosur-brosur bimbel menayangkan daftar siswa peraih nilai UN tertinggi. Namun, ada juga yang tidak suka dengan keberadaan bimbel. Mungkin karena merasa ada pesaing calon pendaftar les privatnya, pernah ditolak saat melamar pekerjaan sebagai tutor bimbel, bahkan ada juga yang sinis dengan metode cepat ala bimbel. Ada saja alasan untuk menolak bimbel. Terlepas dari menerima atau menolak keberadaan bimbel, sekolah dan bimbel secara tidak langsung memiliki visi yang sama. Dengan demikian, kebijakan pusat yang menggoyahkan internal sekolah, bisa berdampak ke sistem akademik bimbel juga. Misalnya, jika USBN resmi dilaksanakan, maka bimbel juga harus menyediakan tutor-tutor mapel selain UN. Parahnya lagi, jika customer bimbel ada siswa pondok atau sekolah Islam terpadu, bisa jadi akan ada perekrutan guru-guru mapel agama. Di satu sisi, biaya operasional harus dianalisis ulang. Di sisi lain, ada angin segar bagi lulusan perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Agama. Peluang pekerjaan akan semakin luas walaupun nanti juga berdampak ke jadwal mengajar tutor-tutor UN.
Stakeholder selanjutnya adalah perguruan tinggi. Tim seleksi penerimaan mahasiswa, khususnya jalur undangan harus berpikir lebih keras lagi. Sebaiknya, poin-poin penilaian juga diperluas dari yang hanya beberapa mapel menjadi semua mapel. Itu baru tentang mapel, belum jika sekolah pendaftar ada banyak jenis: sekolah negeri, sekolah berbasis agama, sekolah kejar paket, bahkan pondok pesantren. Sistem harus diubah dan pastinya akan banyak anggaran.
Yang terakhir, pemegang kekuasaan bisnis di lingkungan pendidikan. Pernah suatu kali saya mendengar suatu percetakan rugi besar akibat pemberlakukan kurikulum 2013 yang mana di sana ada mapel wajib dan minat. Kurikulum disahkan setelah buku dicetak dan siap untuk didistribusikan. Alhasil, banyak penolakan. Dari yang awalnya langganan menjadi berpikir ulang. Kalau sudah begini, laba perusahaan menjadi taruhan. Padahal, di sana banyak karyawan yang juga dipikirkan tentang insentifnya.
Lantas, apakan USBN pas untuk dijalankan? Saya yakin orang-orang pemangku jabatan lebih paham tentang output dan outcome. Saran saya, keputusan jadi tidaknya sebaiknya dalam waktu dekat ini, sehingga para siswa lebih siap dari materi maupun psikologi.
Orang tua. Pihak yang paling berempati terhadap siswa. Dengan dihapuskannya UN, ada kelegaan di sana, terutama bagi orang tua yang anaknya termasuk kategori pemilik kecerdasan otak kanan. Mengingat mapel-mapel yang diujikan selama UN ada daerah otak kiri, siswa yang cenderung otak kanan kadang merasa tertekan. Kalau USBN, benar-benar diterapkan, siswa tidak lagi terpacu pada mapel-mapel tertentu. Siswa akan cenderung memaksimalkan hasil tes yang diminatinya. Apalagi, jika hasilnya nanti sebagai pemetaan masuk perguruan tinggi.
Di sekolah, proses pembelajaran semester gasal hampir usai. Persiapan-persiapan kelulusan sudah disusun dengan asumsi masih dibelakukannya UN. Serius? Iya. Bayangkan saja, sampai detik ini sudah ada uji coba UN sebanyak dua kali putaran. Aturan main masih sama, mapel khusus UN, dikerjakan di lab komputer, dan ada shift-shift-an. Ribet nggak kira-kira? Jangan tanya. Jawaban tersirat dengan kita melihat mimik tim kurkulum sekolah. Pasti mereka kemrungsung, grusa-grusu antara tugas akademik dan mengajar. Wah, kalau tiba-tiba USBN benar-benar deal, bisa gayeng pol ini. Sistem yang sudah didesain sedemikian hingga dengan seketika harus berubah. Jadwal kurikulum yang sudah disesuaikan dengan agenda kesiswaan bisa amburadul. Kalau sudah begini, mau ngapain. Sekolah hanya ngikut aturan dinas pendidikan kotamadya/ kabupaten. Dinas setempat manut dinas pendidikan propinsi. Dan, propinsi mutlak patuh kepada kemendiknas pusat. Ini baru satu stakeholder.
Bimbel. Salah satu mitra terdekat sekolah. Ada yang bilang keberadaannya sangat membantu dalam pencapaian tujuan sekolah, yakni nilai tertinggi UN mengingat sekarang brosur-brosur bimbel menayangkan daftar siswa peraih nilai UN tertinggi. Namun, ada juga yang tidak suka dengan keberadaan bimbel. Mungkin karena merasa ada pesaing calon pendaftar les privatnya, pernah ditolak saat melamar pekerjaan sebagai tutor bimbel, bahkan ada juga yang sinis dengan metode cepat ala bimbel. Ada saja alasan untuk menolak bimbel. Terlepas dari menerima atau menolak keberadaan bimbel, sekolah dan bimbel secara tidak langsung memiliki visi yang sama. Dengan demikian, kebijakan pusat yang menggoyahkan internal sekolah, bisa berdampak ke sistem akademik bimbel juga. Misalnya, jika USBN resmi dilaksanakan, maka bimbel juga harus menyediakan tutor-tutor mapel selain UN. Parahnya lagi, jika customer bimbel ada siswa pondok atau sekolah Islam terpadu, bisa jadi akan ada perekrutan guru-guru mapel agama. Di satu sisi, biaya operasional harus dianalisis ulang. Di sisi lain, ada angin segar bagi lulusan perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Agama. Peluang pekerjaan akan semakin luas walaupun nanti juga berdampak ke jadwal mengajar tutor-tutor UN.
Stakeholder selanjutnya adalah perguruan tinggi. Tim seleksi penerimaan mahasiswa, khususnya jalur undangan harus berpikir lebih keras lagi. Sebaiknya, poin-poin penilaian juga diperluas dari yang hanya beberapa mapel menjadi semua mapel. Itu baru tentang mapel, belum jika sekolah pendaftar ada banyak jenis: sekolah negeri, sekolah berbasis agama, sekolah kejar paket, bahkan pondok pesantren. Sistem harus diubah dan pastinya akan banyak anggaran.
Yang terakhir, pemegang kekuasaan bisnis di lingkungan pendidikan. Pernah suatu kali saya mendengar suatu percetakan rugi besar akibat pemberlakukan kurikulum 2013 yang mana di sana ada mapel wajib dan minat. Kurikulum disahkan setelah buku dicetak dan siap untuk didistribusikan. Alhasil, banyak penolakan. Dari yang awalnya langganan menjadi berpikir ulang. Kalau sudah begini, laba perusahaan menjadi taruhan. Padahal, di sana banyak karyawan yang juga dipikirkan tentang insentifnya.
Lantas, apakan USBN pas untuk dijalankan? Saya yakin orang-orang pemangku jabatan lebih paham tentang output dan outcome. Saran saya, keputusan jadi tidaknya sebaiknya dalam waktu dekat ini, sehingga para siswa lebih siap dari materi maupun psikologi.
Double Profesi: Pegawai dan Pengusaha
Pegawai dan pengusaha bukan seperti dua sisi mata uang. Kata orang, pegawai yo pegawai, pengusaha yo pengusaha wae. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar. Nyatanya, banyak di kalangan kami yang memilih untuk menjalankan dua profesi. Capek? Pasti. Kenapa dilanjutkan? Ini masalah hati. Satu hati sebagai pegawai, kami ingin memanfaatkan ijazah yang kami perjuangkan dengan susah payah. Satu hati sebagai pengusaha yang ingin hidup layak untuk masa tua nanti. Menjadi pegawai itu salah satu wujud berbakti kepada orang tua. Menjadi pengusaha itu salah satu wujud tanggung jawab kepada anak istri. Apakah pegawai tidak bisa kaya? Bisa. Kembali lagi, ini masalah hati. Hati yang tidak kuasa menolak jika sang anak membutuhkan perhatian lebih. Misalnya, biaya pendidikan yang semakin dahsyat. Pendidikan murah bahkan gratis itu banyak, tapi ini soal tanggung jawab seorang tua terhadap titipan anak dari Sang Ilahi. Anak harus berkualitas. Kalau boleh mengutip iklan salah satu bank yang sering diputar di radio, kalimat "Jangan menunggu mampu! Mari memampukan diri" penikmat double profesi, pegawai dan pengusaha.
Helti Nur Aisyiah
Dosen Akuntansi Syari'ah & Owner Toko Jual-Beli Handphone
Helti Nur Aisyiah
Dosen Akuntansi Syari'ah & Owner Toko Jual-Beli Handphone
Friday, 2 December 2016
Intrik Mencontek
Mencontek itu hal yang biasa bagi siswa maupun mahasiswa. Itu kata dia yang belum mengerti artinya kepuasan batin. Mencontek itu hal yang lumrah. Jika hasilnya nanti bagus, senengnya itu tak sebahagia jika murni dia kerjakan sendiri. Nah, mencontek itu pun butuh seni. Bagaimana agar efisien: mempertimbangan biaya dan manfaat. Bagaimana agar tidak boros dan bermanfaat saat ujian berlangsung. Ya ini, seni yang dimaklumkan. Padahal?
Tes itu sebenarnya untuk apa sih? Kalau hanya untuk formalitas mending ndak usah aja. Yang pinter beneran, belahar mati-matian. Pengawas juga harus datang on time. Mubadzir kan kalau disia-siakan. Okelah, ini bukan untuk menghakimi sang pencontek. Tulisan imo hanya untuk memperlihatkan betapa nyeninya orang yang mencontek.
Selama beberapa hari ini, ada tiga teknik mencontek yang di luar prediksi pengawas. Ketiga teknik tersebut pastinya di luar kode-kodean tangan antarpeserta dalam berkomunikasi jawaban pilgand lho ya. Pertama, selembar kertas berbahasa korea terjatuh dari kolong meja. Kedua, ada dua bendel soal di atas meja. Ketiga, ada lembar oret2an yang berisi dialog.
Yuk, kita kupas satu-satu. Pertama, bahasa korea. Luar biasa cerdasnya anak ini sampai-sampai contekan ditulis dengan bahasa korea yang notabene jarang sekali orang Indonesia mempelajarinya. Kedua, dua bendel soal dengan tahun ajaran yang berbeda. Soal tahun lalu yang sudah diberi jawaban dan materi tambahan diletakkan di bawah soal hari-H dan sesekali si peserta tes membuka-bukanya. Ketiga, lembar oret-oretan mata pelajaran atau mata kuliah eksak bukannya diisi oleh angka-angka, malah kata-kata yang tidak lain adalah media komunikasi antarpeserta tes.
Wah wah wah, makin kreatif saja generasi bangsa saat ini. Harusnya sibuk memahami materi, malah sibuk menyusun strategi. Kalau sudah begini, pengawas harus makin jeli. Periksa satu-satu dan pastikan semua jujur. Kalau ini dibiarkan, lama-lama terbitlah buku 1001 cara mencontek. Lantas, mau jadi apa negara kita kelak? Stop kecurangan! Mari berbenah.
Tes itu sebenarnya untuk apa sih? Kalau hanya untuk formalitas mending ndak usah aja. Yang pinter beneran, belahar mati-matian. Pengawas juga harus datang on time. Mubadzir kan kalau disia-siakan. Okelah, ini bukan untuk menghakimi sang pencontek. Tulisan imo hanya untuk memperlihatkan betapa nyeninya orang yang mencontek.
Selama beberapa hari ini, ada tiga teknik mencontek yang di luar prediksi pengawas. Ketiga teknik tersebut pastinya di luar kode-kodean tangan antarpeserta dalam berkomunikasi jawaban pilgand lho ya. Pertama, selembar kertas berbahasa korea terjatuh dari kolong meja. Kedua, ada dua bendel soal di atas meja. Ketiga, ada lembar oret2an yang berisi dialog.
Yuk, kita kupas satu-satu. Pertama, bahasa korea. Luar biasa cerdasnya anak ini sampai-sampai contekan ditulis dengan bahasa korea yang notabene jarang sekali orang Indonesia mempelajarinya. Kedua, dua bendel soal dengan tahun ajaran yang berbeda. Soal tahun lalu yang sudah diberi jawaban dan materi tambahan diletakkan di bawah soal hari-H dan sesekali si peserta tes membuka-bukanya. Ketiga, lembar oret-oretan mata pelajaran atau mata kuliah eksak bukannya diisi oleh angka-angka, malah kata-kata yang tidak lain adalah media komunikasi antarpeserta tes.
Wah wah wah, makin kreatif saja generasi bangsa saat ini. Harusnya sibuk memahami materi, malah sibuk menyusun strategi. Kalau sudah begini, pengawas harus makin jeli. Periksa satu-satu dan pastikan semua jujur. Kalau ini dibiarkan, lama-lama terbitlah buku 1001 cara mencontek. Lantas, mau jadi apa negara kita kelak? Stop kecurangan! Mari berbenah.
Subscribe to:
Posts (Atom)