Pages

Monday, 12 November 2018

Mengajar dengan Cinta

sumber: kompasiana.com


Cinta. Siapa yang tidak mengenal cinta? Dengan cinta, kita bahagia. Dengan cinta, kita bergerak. Dengan cinta, kita punya visi. Dengan cinta, kita mau berbuat sepenuhnya dan seutuhnya.


Salah satu profesi yang aku cintai adalah pengajar. Aku membayangkan kegiatan mengajar itu senikmat meminum kopi di pagi hari. Jika itu benar-benar terjadi,  mengajar tak lagi hanya formalitas, tak lagi memenuhi kewajiban, dan tak lagi terasa beban. Indah, semua akan indah. Kalau ada goalrelationship, maka mengajar juga ada yang hingga begitu. 

Monday, 30 July 2018

Mendidik Anak Melalui Manajemen Uang 'Fitrah'

Lebaran di Indonesia, khususnya di Solo, tidak akan bisa lepas dari tradisi pembagian uang fitrah. Tradisi ini terus terlaksana dari tahun ke tahun setiap momen Idul Fitri. Kini, kegiatan pemberian uang fitrah sudah mulai menjadi urutan acara yang disusun secara sistematis dalam rangkaian acara ‘sungkem’ atau ‘halal-bihalal’. Walaupun tradisi tersebut dirasa hampa kalau tidak ada, sebenarnya hanya sebatas seru-seruan belaka, tetapi tetap berpahala – bernilai sedekah. Biasanya uang fitrah diberikan oleh orang yang lebih tua kepada keluarga, kerabat, tetangga atau orang sekitar sebagai wujud kasih sayang. Label ‘fitrah’ yang dilekatkan pada uang yang dibagikan bisa dikarenakan waktunya hampir bersamaan dengan pembayaran zakat fitrah. Bedanya, zakat fitrah disampaikan sebelum Sholat Ied, sedangkan uang fitrah setelahnya.  
Uang fitrah dapat diberikan secara langsung atau dimasukkan dahulu ke dalam amplop atau media lainnya yang menarik minat anak-anak. Uang yang diberikan biasanya dalam bentuk uang baru – hasil tukar uang dari Bank Indonesia. Pernah terpikirkan bahwa pemberian uang fitrah dengan uang baru pada tahun ini akan berkurang bersamaan dengan dilarangnya penjualan jasa penukaran uang baru di pinggir jalan. Namun, perkiraan tersebut nampaknya meleset. Walaupun penukaran uang baru tidak semudah tahun lalu, animo masyarakat untuk menukarkan uangnya dalam satuan yang lebih kecil tetap tinggi. Dengan demikian, uang fitrah masih tetap dalam bentuk uang baru.

Peran Strategis Orang Tua
Sasaran utama uang fitrah adalah anak-anak pra sekolah, sekolah, hingga kuliah. Bahkan, setelah lulus pun masih ada yang diberi. Walaupun yang menerima uang fitrah adalah anak, orang tua tetap harus memantau tentang penyimpanan hingga penggunaannya. 
Pada momen yang hanya terjadi setahun sekali ini, orang tua dapat memanfaatkan momen denga memasukkan nilai-nilai karakter anak, yaitu mendidik anak dalam hal manajemen keuangan. Mengatur keuangan bukanlah kegiatan yang mudah dan instan dipelajari. Perlu pembelajaran rutin dan dipersiapkan sejak dini, terutama untuk menekankan kepada anak pentingnya bersikap hemat. 
Ada empat kemungkinan pengelolaan uang fitrah. Pertama, uang fitrah dikelola sepenuhnya oleh anak tanpa sepengetahuan orang tua. Kedua, orang tua mengetahui sepenuhnya, tetapi memberi kebebasan anak untuk menggunakan uang tersebut. Ketiga,. Keempat, sepenuhnya dikelola oleh orang tua.
Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi tersebut sah-sah saja karena setiap keluarga memiliki prinsip tersendiri.  Namun, yang paling ideal adalah anak dan orang tua bersama-sama mengelola uang fitrah. Pada tipe pengelolaan yang ketiga, orang tua memberikan kebebasan kepada anak, tetapi dengan arahan. Bahkan, ada anak yang merasa tidak mantap jika tidak dikonsultasikan terlebih dahulu kepada orang tua. Posisi orang tua yang seperti inilah yang dikatakan sebagai ‘goal relationship’ – saling membutuhkan antara anak dan orang tua. 

Anak sebagai Anugerah dan Ujian
Setiap aktivitas dalam keluarga, harus ada personil yang menjalankan fungsi monitoringdan controlling. Personil yang paling tepat adalah orang tua. Fungsi tersebut penting dijalankan mengingat anak merupakan anugerah, tetapi juga ujian. Di satu sisi, anak harus disayangi sepenuh hati. Di sisi lain, orang tua harus mempersiapkan masa depan anak agar ke depannya bisa mandiri, termasuk mandiri dari segi ekonomi.
Melatih kemandirian ekonomi anak dengan mengedepankan perencanaan keuangan yang matang tepat dilakukan setelah anak menerima uang fitrah. Ini mengingat uang yang diterima bisa mencapai nominal yang besar dalam waktu yang singkat. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah munculnya spekulan bisnis musiman yang sengaja menjual barang dagangan yang disukai oleh anak-anak, seperti mainan. Jaman milenial dan digital seperti saat ini, mainan tidak terbatas pada mainan yang berbentuk fisik, melainkan juga bisa diperoleh dari play storemaupunappstore. Jalansatu-satunya agar bisa mengakses kedua sumber mainan non fisik tersebut adalah melalui smartphone.
Barang yang dibeli dari hasil uang fitrah baiknya yang memiliki dampak positif pada anak. Kalau pun untuk dibelanjakan barang yang disukai oleh anak, boleh. Akan tetapi, baiknya ada persentase penggunaan, tidak serta merta semua dihabiskan. Sebagian besar anak, biasanya begitu mendapatkan uang banyak langsung dihabiskan. Pada kondisi inilah, peran orang tua menjadi strategis, yaitu sebagai pendamping dan pengendali pengeluaran.
Orang tua wajib mengetahui setiap barang yang dibeli oleh anaknya. Jika perlu, orang tua mengajarkan pencatatan setiap transaksi yang dilakukan oleh anak. Ini dilakukan untuk melatih tanggung jawab dan kejujuran anak. Kalau belum terbiasa, anak akan merasa dikekang, tapi sebenarnya ini demi kebaikan. Orang tua sebaiknya tidak sepenuhnya melepas begitu saja. Bukannya tidak percaya kepada anak, tetapi di era digital tidak ada yang mustahil. Aliran informasi begitu pesat dan mudah diperoleh melalui media apa saja, dalam genggaman tangan pun bisa (smartphone). Kemudahan informasi tak hanya berdampak positif, melainkan negatif juga yang parahnya dapat merusak moral anak jika tanpa pendampingan orang tua.
Dalam ilmu ekonomi, kebutuhan berdasarkan waktu dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kebutuhan mendesak, sekarang, dan yang akan datang. Begitu menerima uang fitrah, anak disarankan untuk membeli kebutuhan yang mendesak dahulu, yaitu kebutuhan yang tidak dapat ditunda saat itu juga. Setelah itu, baru kebutuhan sekarang kemudian masa depan. Untuk kebutuhan yang sifatnya sekarang, anak dibebaskan untuk membeli apa saja yang diinginkannya tanpa melupakan kebutuhan yang akan datang, yaitu menabung. 
Orang tua harus pandai menjelaskan pentingnya menabung bagi masa depan anak. Penyampaiannya pun harus didisain semenarik mungkin dan disusun dengan bahasa yang mudah dipahami. Jika pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik, maka tujuan utama pendampingan manajemen keuangan uang fitrah pun bisa tercapai,yaitu menanamkan kesadaran ekonomi sejak dini kepada anak.


#latepost

Thursday, 12 April 2018

(only) Friend

I have friends. Before we became friends, we were enemies. Really! He's annoying, but he also misses. Unfortunately, now we are no longer together and in contact anymore. His own fault, he did not understand the conditions. I like it, but don't say I like it. Miss you, but don't say you miss. Oh, it turns out he's exactly the same as Ditto in the movie "Friends but Married". Ditto, who has to be persistent in principle, who struggles to become established, must first convey the feelings of love that he has harbored for 12 years. In fact, it was so long interspersed with romance with a partner he didn't really love. Why do you have to wait for the establishment to reveal?

Women don't need stability, they just need firmness: yes, say yes, no say no. No yes no, no yes. It hurts when the future has to be embroidered slowly and planned. Women need reassurance and you don't heed. In the end, this relationship lost. Love succumbs, sorry already.

My friend, forgive me who has won my logic, not the honesty of my feelings. I hope you are happy with him even though a few days ago your partner accidentally opened my instagram and I know it. How come? Suddenly there was a "like" notification on one of my countless new pictures. Hehe.. so touched. Please tell him, don't find out about me. I'm just your past that he shouldn't be bothered by. Continue on your journey of eternal love, my friend! Allah bless you.

Friday, 30 March 2018

Mother's Working Hours

Mom is great. I feel it myself. It's not that I exalt myself, but I imagine the same condition for me now as my mother in the past. Extraordinary!

Some say that the mother works 24 hours non-stop. Not really. That's excessive or deliberately using hyperbole as a form of thumbs up out of admiration for the mother figure.

Actually mother does not work 24 hours. There's a break too. It's just that, the break time is no longer like a child and father who can set the rest time by themselves. Mom is definitely different. Rest depends on the child and father. In fact, even when family members have rested, sometimes mothers have not rested. Still thinking about and doing pending work in order to give full attention to family members.

Tonight I really feel what it's like to be a mother. Actually not just tonight, but has become a routine for almost 5 years according to the age of my first child. Tonight suddenly the second child vomited which I couldn't help but have to get up to clean and calm my junior man. It turned out that I was not in charge of my youngest child. My eldest son also happens to be cranky tonight. He slept like a fan running around in a daze and was a little weeping. It's really amazing.

It's not the worst. Tonight is normal. There was something even worse, when both of their children were sick and fussy, and he admitted that he also had a severe cold. To make matters worse, nothing helped at all. Great right? Since the worst situation, with a strong determination must try to always be healthy. Because of what? This is nothing but true that there is a statement that says that the mother should not be sick. It turned out to be true. Mother is sick, homework still has to be handled. Unlike office work, you can get out of hand for a few days. If you are at home, you still can't just lie down all day. Truly grateful for mothers who have partners and large families with high empathy.

Thursday, 22 March 2018

Mengawas Ujian Super Ketat

sumber foto: dokumen pribadi

Coba deh lihat ekspresi mereka, anak-anakku di kampus. Sepertinya mereka sungguh-sungguh mengerjakan. Ya jelas iya. Dosennya yang satu ini memang khas bagi mereka. Kata mereka saya itu galak, tapi ramah. Loh, kok galak? Lebih tepatnya bukan galak, tetapi lebih ke arah tegas. Saya tahu penilaian mereka dari teman sesama dosen yang pernah bertanya tentang karakter masing-masing dosen. Dipilihlah saya yang paling tegas. Ya, alhamdulillah kalau begitu penilaian mereka terhadap saya. Memang betul seperti itu dan saya tidak tersinggung. Yang penting masih ada embel-embel ramahnya. Ini warisan karakter dari profesi terdahulu saya, penyiar selama 5 tahun menggambleh ria. Haha...

Saya senang sekali melihat kegigihan mereka dalam belajar. Semoga bukan hanya waktu di mata kuliah saya saja ya. Aturan main di kelas saya sungguh ketat: terlambat tidak boleh masuk. Rasanya menyeramkan, tetapi sebenarnya kalau ditelaah dalam-dalam ini malah membuat anak-anak saya semangat. Semangat berangkat kuliah dan tentunya semangat untuk segera bertemu saya. Hehehe...

Itu baru satu aturan. Itu pun aturan harian. Kalau waktu tes, beda lagi. Sebelum tes dimulai, saya benar-benar meminta mereka untuk mengkondisikan diri agar tidak duduk berdekatan. Kursi baris paling depan nempel tembok paling depan. Begitu juga baris kanan, kiri, dan belakang. Semuanya wajib nempel tembok, sedangkan kursi yang lain menyesuaikan. Kalau ada kursi sisa, dilipat. Sadis kan?

Kelihatannya sih nyebelin bagi mereka, tapi kalau tidak dibegitukan mana mau mereka belajar. Ya kan? Sebenarnya ini wujud tanggung jawab dan rasa sayangku pada mereka. Sungguh, aku sangat menyayangi mereka. Aku tak mau mereka hanya duduk, dengar, hilang, dan pulang. Aku mau mereka sungguh-sungguh mempersiapkan masa depan. Toh, mereka juga kan generasi penerus bangsa ini. Siapa lagi kalau bukan mereka? 

Untuk para pendidik di mana pun berada, tak perlu risau mau dilabeli apa oleh peserta didik kita. Kita lakukan yang terbaik dan sistemik untuk mencetak pewaris negeri yang benar-benar terdidik.

Foto dan narasi ini disusun setelah mengawas UTS kelas 6E tahun ajaran 2018 di IAIN Surakarta

Wednesday, 21 March 2018

Rindu

Hai, pasangan! Kapan ya kita terakhir berbincang? Sepertinya kita sudah lelah dengan kesibukan yang selalu saja memisahkan kita. Atau kitanya saja yang memang sedang ingin tak sejalan? 

Berbicara itu perlu lho. Aku merindukanmu. Sungguh! Memang target-target duniawi menuntut di antara kita ada celah agar kita berjuang di ranah privasi, tetapi satu tetaplah harus “satu”. Bagaimana kita bisa berjalan dengan visi yang sama jika tak lagi saling sapa? 

Aku rindu santainya bersamamu. Aku tahu kamu pejuang, Cinta. Cintamu yang luar biasa untuk anak-anak kita. Tapi, mengendurlah sejenak biar lebih enak. Kita ngopi-ngopi berdua sambil membicarakan esok akan tetap bersama atau tidak. Berjalan bersama melalui jalan yang tak biasa. Terjal, tapi tetap kamu yang paling handal bagiku dan anak-anakku.

Saturday, 3 February 2018

Dzikir yang Terbaik

Dzikir itu bermakna menyebut dan mengingat. Menyebut saja tanpa mengingat dan sebaliknya itu tidak sempurna.


Ada 3 level dzikir, eat:
1. Mengingat, menyebut dengan mengagungkan nama Allah;
2. Mengingat tanpa menyebut. ini biasanya bagi orang yang sedang sibuk bekerja. mulutnya tidak menyebut, tetapi hatinya mengingat;
3. Menyebut, tetapi tidak mengingat.

Yang level 1 dan 2 merupakan keutamaan dzikir. yang ke-3, bukan. Lantas, kapan kita berdzikir? Dzikir itu tidak memandang waktu dan tempat. kapan pun dan di manapun. Jangan membatasi dzikir pada masjid saja, sehingga kadang di tempat kerja lupa bahwa Allah ada untuk selalu mengawasi. Di masjid baik, di kantor bersikap kurang baik.

Kalau semua profesi berdzikir, maka tidak akan ada lagi yang berani berbuat dzolim. Dosen, misalnya. Saya menyebut dosen karena kebetulan profesi saya dosen. jika setiap dosen berdzikir, maka tidak akan lagi datang terlambat dan pulang awal.
Dengan demikian, dzikir itu memang benar-benar dilakukan setiap saat agar aktivitas kita mencerminkan diri kita yang sesungguhnya, sesungguhnya sebagai hamba Allah SWT. 

(Tulisan ini penulis ringkas dari kajian Ustadz Abdul Shomad)


Wednesday, 31 January 2018

"Dilan" yang Sesungguhnya

Aku ingat betul kala kamu hendak menghabisi Anhar setelah kamu tahu bahwa dia refleks menampar Milea. Aku langsung teringat suamiku yang juga melakukan hal yang sama terhadapku. Bedanya, kamu dengan fisik, sedangkan dia tidak. Mungkin karena faktor usia. Kalau saja kejadian itu sama, mungkin juga akan dilakukan oleh suamiku. Sayangnya, tragedi itu terjadi saat kami sudah berumah tangga dan yang menyakitiku adalah rekan-rekan kerjaku. Suamiku pasang badan cukup dengan berdialog dan berdiskusi dengan rekan-rekan kerja yang bagi mereka harus ada perpeloncoan pada pegawai baru. Dan saya pegawai barunya. Na’as!

Hebat! Kamu dan suamiku sama-sama hebat. Tidak terima jika yang disayangi tersakit. ini benar-benar membenarkan tentang kalimat “Jangan pernah bilang siapa yang menyakitimu karena dia akan hilang!’. Kalimat itu benar nyatanya. Yang menyakitiku benar-benar hilang, hilang dari kehidupanku dengan caraku, yaitu meninggalkan dunia kerja yang berbudaya ngawur. Ya, ngawur! Mana ada budaya mengerjai pegawai baru dengan alasan supaya akrab. Ngawur kan?

Saturday, 27 January 2018

Masih Saja Membisu

Sayangnya, aku terlalu mandiri. Memikirkan, menjalankan, dan mengevaluasi sendiri. Sebenarnya aku punya partner hebat, tapi miskin empati. Partner yang konon katanya 99% logika, nyatanya kalah dari setiap fenomena. Kadang, aku bertanya dalam luka. Apa semua yang kurasa juga dirasa oleh makhluk yang sama?

Aku bingung memulai dari mana sementara perjalanan tak mungkin dihentikan. Tanggung jawab semakin banyak dan berat. Setiap hal memiliki masalah yang tak semestinya kubuat pecah. Harus diselami, dimengerti, dan diberi solusi. Ternyata masalah bukan hanya tentangmu. Kalau hanya memikirkanmu, bagaimana dengan waktuku? 

Rapuh, aku terlalu rapuh. Ayat-ayat kitab suci yang kuagungkanlah yang menjadikan rem di permulaan emosi. Terlalu naif disampaikan, cukup hanya dipendam. Terlalu bahaya dibicarakan, cukup hanya dituliskan. Aku takut kekuatan ini padam seiring datangnya malam.