Saya teringat dengan berita beberapa hari
yang lalu tentang salah satu perusahaan di Solo yang menjadi korban hoax
marketing dari pesaing bisnisnya. Ini tidak ada hubungannya dengan kejadian hoax di waktu lalu, melainkan hanya topik
dari berita tersebut bisa dijadikan pembanding dalam menyikapi persaingan
bisnis yang tidak sehat akhir-akhir ini. Salah satu hal yang positif dalam
menyikapi persaingan bisnis bisa dilakukan dengan Customer Social Responsibility (CSR).
CSR sering dilakukan oleh perusahaan
sebagai wujud tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan di mana perusahaan
berada. Saya sendiri baru mengenal istilah CSR di bangku perkuliahan. Namun, istilah
CSR lebih nyata saya rasakan manfaatnya setelah bergabung ke dalam organisasi
Koperasi Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (Kopma UNS). Kala itu, setiap
tahun kami mengadakan donor darah di tengah kesibukan mengelola unit-unit usaha
yang ada di bawah kendali Kopma.
Selain dari Kopma UNS, saya juga mengenal
CSR dari seorang teman yang mendapatkan beasiswa Djarum. Dia menceritakan bahwa
beasiswa yang diterimanya merupakan salah satu bentuk CSR dari Djarum. Ini
menarik sekali bagi saya yang saat itu sama sekali belum mengenal bisnis secara
nyata. Ternyata sebuah perusahaan tidak hanya melakukan kegiatan yang berfokus
pada imbalan langsung, misalnya jualan yang langsung menerima uang. Kegiatan
sosial pun juga menjadi bagian dari program kerja perusahaan. Kalau dihubungan
antara input dan output kegiatan, kadang CSR ini terlihat seperti kegiatan yang
pamrih. Memang betul, tetapi tidak secara langsung, Dalam jangka panjang, CSR
pasti mendatangkan manfaat bagi perusahaan. Salah satu manfaatnya adalah
membina hubungan sosial yang baik antara pihak perusahaan dan masyarakat yang
nantinya akan berimbas baik pula pada hubungan ekonomi, termasuk meningkatnya
omzet perusahaan.
Dalam sosialisasi kegiatan CSR pun
sebenarnya juga merupakan ajang promosi. Di setiap akhir penjabaran kegiatan,
pasti pembaca informasi menyebutkan pihak penyelenggaran yang tidak lain
perusahaan itu sendiri.
Berbicara tentang kasus korban hoax marketing pada waktu yang lalu, CSR
dan hoax marketing memang dua hal
yang berbeda. Namun, menjadi sama dalam hal memikat calon konsumen. CSR memikat
hati konsumen dengan cara yang positif, yaitu mengadakan kegiatan bernuansa sosial,
sedangkan hoax marketing dapat
memikat hati konsumen dengan kegiatan negatif, yaitu menjatuhkan pesaing
bisnis.
Sejak awal saya kurang setuju dengan hoax marketing yang digadang-gadang
dapat melumpuhkan “lawan” dengan tujuan utama untuk mencegah calon konsumen
menggunakan barang atau jasanya hingga menarik konsumen perusahaan pesaing.
Memang, setiap perusahaan pasti menginginkan penjualan yang tinggi. Namun,
alangkah baiknya tujuan inti perusahaan tersebut dicapai dengan cara yang etis.
Persaingan yang sehat sebenarnya akan
lebih memacu masing-masing entitas untuk meningkatkan skill dalam menentukan teknik pemasaran yang tepat. Diperbolehkan
antarpelaku usaha sejenis untuk saling ingin tahu kelemahan masing-masing,
tetapi bukan untuk saling sebar berita yang belum tentu benar, melainkan untuk
bahan analisis penyusunan strategi. Cukup disimpan di internal perusahaan saja.
Dengan begitu, dapat meminimalisasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap
berita-berita yang ada di sekitar mereka.
Dalam kondisi ini, peran komunitas wirausaha
benar-benar penting. Di pertemuan-pertemuan anggota komunitas diharapkan bisa
menyelipkan nilai-nilai positif dalam memasarkan produk masing-masing unit. Jadi,
tidak hanya mengejar materi semata, melainkan juga membina hubungan sosial
antarsesama. Lebih indah lagi jika sesama pelaku usaha bersama-sama merancang
dan melaksanakan satu kegiatan CSR untuk masyarakat. Iklim usaha ini sangat sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai moral dan
etika.
Tulisan ini terbit di media UC News tanggal 18 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~
No comments:
Post a Comment