Pages

Monday, 29 May 2017

Pikat Konsumen Customer Social Responsibility

Saya teringat dengan berita beberapa hari yang lalu tentang salah satu perusahaan di Solo yang menjadi korban hoax marketing dari pesaing bisnisnya. Ini tidak ada hubungannya dengan kejadian hoax di waktu lalu, melainkan hanya topik dari berita tersebut bisa dijadikan pembanding dalam menyikapi persaingan bisnis yang tidak sehat akhir-akhir ini. Salah satu hal yang positif dalam menyikapi persaingan bisnis bisa dilakukan dengan Customer Social Responsibility (CSR).
CSR sering dilakukan oleh perusahaan sebagai wujud tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan di mana perusahaan berada. Saya sendiri baru mengenal istilah CSR di bangku perkuliahan. Namun, istilah CSR lebih nyata saya rasakan manfaatnya setelah bergabung ke dalam organisasi Koperasi Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (Kopma UNS). Kala itu, setiap tahun kami mengadakan donor darah di tengah kesibukan mengelola unit-unit usaha yang ada di bawah kendali Kopma.
Selain dari Kopma UNS, saya juga mengenal CSR dari seorang teman yang mendapatkan beasiswa Djarum. Dia menceritakan bahwa beasiswa yang diterimanya merupakan salah satu bentuk CSR dari Djarum. Ini menarik sekali bagi saya yang saat itu sama sekali belum mengenal bisnis secara nyata. Ternyata sebuah perusahaan tidak hanya melakukan kegiatan yang berfokus pada imbalan langsung, misalnya jualan yang langsung menerima uang. Kegiatan sosial pun juga menjadi bagian dari program kerja perusahaan. Kalau dihubungan antara input dan output kegiatan, kadang CSR ini terlihat seperti kegiatan yang pamrih. Memang betul, tetapi tidak secara langsung, Dalam jangka panjang, CSR pasti mendatangkan manfaat bagi perusahaan. Salah satu manfaatnya adalah membina hubungan sosial yang baik antara pihak perusahaan dan masyarakat yang nantinya akan berimbas baik pula pada hubungan ekonomi, termasuk meningkatnya omzet perusahaan.
Dalam sosialisasi kegiatan CSR pun sebenarnya juga merupakan ajang promosi. Di setiap akhir penjabaran kegiatan, pasti pembaca informasi menyebutkan pihak penyelenggaran yang tidak lain perusahaan itu sendiri.
Berbicara tentang kasus korban hoax marketing pada waktu yang lalu, CSR dan hoax marketing memang dua hal yang berbeda. Namun, menjadi sama dalam hal memikat calon konsumen. CSR memikat hati konsumen dengan cara yang positif, yaitu mengadakan kegiatan bernuansa sosial, sedangkan hoax marketing dapat memikat hati konsumen dengan kegiatan negatif, yaitu menjatuhkan pesaing bisnis.
Sejak awal saya kurang setuju dengan hoax marketing yang digadang-gadang dapat melumpuhkan “lawan” dengan tujuan utama untuk mencegah calon konsumen menggunakan barang atau jasanya hingga menarik konsumen perusahaan pesaing. Memang, setiap perusahaan pasti menginginkan penjualan yang tinggi. Namun, alangkah baiknya tujuan inti perusahaan tersebut dicapai dengan cara yang etis.
Persaingan yang sehat sebenarnya akan lebih memacu masing-masing entitas untuk meningkatkan skill dalam menentukan teknik pemasaran yang tepat. Diperbolehkan antarpelaku usaha sejenis untuk saling ingin tahu kelemahan masing-masing, tetapi bukan untuk saling sebar berita yang belum tentu benar, melainkan untuk bahan analisis penyusunan strategi. Cukup disimpan di internal perusahaan saja. Dengan begitu, dapat meminimalisasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap berita-berita yang ada di sekitar mereka.
Dalam kondisi ini, peran komunitas wirausaha benar-benar penting. Di pertemuan-pertemuan anggota komunitas diharapkan bisa menyelipkan nilai-nilai positif dalam memasarkan produk masing-masing unit. Jadi, tidak hanya mengejar materi semata, melainkan juga membina hubungan sosial antarsesama. Lebih indah lagi jika sesama pelaku usaha bersama-sama merancang dan melaksanakan satu kegiatan CSR untuk masyarakat. Iklim usaha ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika.
Tulisan ini terbit di media UC News tanggal 18 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~

No comments: