Pages

Monday, 29 May 2017

Resolusi Mental

Jelang penghujung tahun, saatnya “bercermin” dan bergegas “bangun”. “Bercermin” di sini dapat diartikan dengan menilai diri sendiri alias instropeksi diri, sedangkan “bangun” berarti memperbaiki kekurangan dan menetapkan standar-standar baru untuk kehidupan di tahun mendatang. Kalau hanya “bercermin”, bisa jadi hanya menyesali diri. Kalau hanya “bangun”, bisa jadi hanya fokus pada target tahun depan tanpa menghiraukan capaian target tahun lalu. Kalau di dalam organisasi, ada rencana kerja dan realisasi kerja. Di tengah-tengahnya ada evaluasi kerja. Dengan begitu, kinerja sebuah organisasi akan lebih terarah dan dapat mewujudkan goal yang diharapkan.

Bagi penikmat media sosial, kata “resolusi” bermunculan jelang akhir tahun ini. Per hari ini saja, “#resolusi 2017” sudah ada ribuan kiriman. Jumlah yang tidak sedikit ini menunjukkan betapa pentingnya target bagi seseorang. Semoga saja, kalimat yang sudah dirangkai dan terbaca oleh teman dunia maya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, bukan hanya sekedar tulisan dan mengikuti trend semata, melainkan diikuti dengan usaha yang nyata dan do’a yang khusyu’.

Resolusi sebenarnya berarti pernyataan tertulis yang berisi tentang suatu hal (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dari arti tersebut, resolusi hendaknya memang ditulis. Sesuatu yang ditulis itu akan lebih kaya makna dan dapat dievaluasi. Berkaca dari dunia akuntansi sektor publik, anggaran negara baik pusat maupun daerah pasti ditulis dan dievaluasi secara berkala. Anggaran keuangan ditulis sebagai landasan kerja dan evaluasi. Evaluasi pun dilakukan berkala untuk mengetahui sejauh mana anggaran tersebut terserap, sudah terserap dengan baik atau belum. Jika belum, maka perlu perbaikan yang mengarah pada tujuan yang diharapkan.


Sama halnya dengan anggaran, kehidupan pribadi pun demikian. Perlu ditulis dan dievaluasi secara berkala. Resolusi itu tidak selalu mengarah pada materi maupun hasil akhir, melainkan bisa dimulai dari pembentukan mental yang tentunya lebih baik dari tahun kemarin. Jika mental sudah terbentuk dengan baik, maka materi dan hasil akhir pasti akan mengikuti. Mental yang baik akan lebih mudah mengatasi penyimpangan di tengah perjalanan. Resolusi mental yang telah disusun ini tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk mendukung gerakan pemerintah saat ini, yaitu revolusi mental.

Ditulis oleh Helti Nur Aisyiah pada akhir tahun 2016 jelang tahun 2017

Pikat Konsumen Customer Social Responsibility

Saya teringat dengan berita beberapa hari yang lalu tentang salah satu perusahaan di Solo yang menjadi korban hoax marketing dari pesaing bisnisnya. Ini tidak ada hubungannya dengan kejadian hoax di waktu lalu, melainkan hanya topik dari berita tersebut bisa dijadikan pembanding dalam menyikapi persaingan bisnis yang tidak sehat akhir-akhir ini. Salah satu hal yang positif dalam menyikapi persaingan bisnis bisa dilakukan dengan Customer Social Responsibility (CSR).
CSR sering dilakukan oleh perusahaan sebagai wujud tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan di mana perusahaan berada. Saya sendiri baru mengenal istilah CSR di bangku perkuliahan. Namun, istilah CSR lebih nyata saya rasakan manfaatnya setelah bergabung ke dalam organisasi Koperasi Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (Kopma UNS). Kala itu, setiap tahun kami mengadakan donor darah di tengah kesibukan mengelola unit-unit usaha yang ada di bawah kendali Kopma.
Selain dari Kopma UNS, saya juga mengenal CSR dari seorang teman yang mendapatkan beasiswa Djarum. Dia menceritakan bahwa beasiswa yang diterimanya merupakan salah satu bentuk CSR dari Djarum. Ini menarik sekali bagi saya yang saat itu sama sekali belum mengenal bisnis secara nyata. Ternyata sebuah perusahaan tidak hanya melakukan kegiatan yang berfokus pada imbalan langsung, misalnya jualan yang langsung menerima uang. Kegiatan sosial pun juga menjadi bagian dari program kerja perusahaan. Kalau dihubungan antara input dan output kegiatan, kadang CSR ini terlihat seperti kegiatan yang pamrih. Memang betul, tetapi tidak secara langsung, Dalam jangka panjang, CSR pasti mendatangkan manfaat bagi perusahaan. Salah satu manfaatnya adalah membina hubungan sosial yang baik antara pihak perusahaan dan masyarakat yang nantinya akan berimbas baik pula pada hubungan ekonomi, termasuk meningkatnya omzet perusahaan.
Dalam sosialisasi kegiatan CSR pun sebenarnya juga merupakan ajang promosi. Di setiap akhir penjabaran kegiatan, pasti pembaca informasi menyebutkan pihak penyelenggaran yang tidak lain perusahaan itu sendiri.
Berbicara tentang kasus korban hoax marketing pada waktu yang lalu, CSR dan hoax marketing memang dua hal yang berbeda. Namun, menjadi sama dalam hal memikat calon konsumen. CSR memikat hati konsumen dengan cara yang positif, yaitu mengadakan kegiatan bernuansa sosial, sedangkan hoax marketing dapat memikat hati konsumen dengan kegiatan negatif, yaitu menjatuhkan pesaing bisnis.
Sejak awal saya kurang setuju dengan hoax marketing yang digadang-gadang dapat melumpuhkan “lawan” dengan tujuan utama untuk mencegah calon konsumen menggunakan barang atau jasanya hingga menarik konsumen perusahaan pesaing. Memang, setiap perusahaan pasti menginginkan penjualan yang tinggi. Namun, alangkah baiknya tujuan inti perusahaan tersebut dicapai dengan cara yang etis.
Persaingan yang sehat sebenarnya akan lebih memacu masing-masing entitas untuk meningkatkan skill dalam menentukan teknik pemasaran yang tepat. Diperbolehkan antarpelaku usaha sejenis untuk saling ingin tahu kelemahan masing-masing, tetapi bukan untuk saling sebar berita yang belum tentu benar, melainkan untuk bahan analisis penyusunan strategi. Cukup disimpan di internal perusahaan saja. Dengan begitu, dapat meminimalisasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap berita-berita yang ada di sekitar mereka.
Dalam kondisi ini, peran komunitas wirausaha benar-benar penting. Di pertemuan-pertemuan anggota komunitas diharapkan bisa menyelipkan nilai-nilai positif dalam memasarkan produk masing-masing unit. Jadi, tidak hanya mengejar materi semata, melainkan juga membina hubungan sosial antarsesama. Lebih indah lagi jika sesama pelaku usaha bersama-sama merancang dan melaksanakan satu kegiatan CSR untuk masyarakat. Iklim usaha ini sangat sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika.
Tulisan ini terbit di media UC News tanggal 18 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~

Pasoepati (akan) Mengulang Kejayaan Industri Othok-othok

Ada yang unik dari Ide “othok-othok” sang pimpinan Pasoepati akhir-akhir ini. Othok-othok, sebuah mainan tradisional era 70-an hingga 90-an, tiba-tiba dilirik kembali di era yang serba canggih seperti saat ini. Normalnya, orang akan menggantikan suatu barang yang sudah lama dipakai dengan barang yang lebih kekinian. Kalau dianalogikan dalam dunia konser musik, cahaya lilin akan tergantikan dengan flashlight pada telepon genggam. Kali ini beda, lebih cenderung kembali ke masa lalu.

Tujuan utama penggunaan othok-othok memang untuk memberikan dukungan moril kepada para pemain Persis Solo. Namun, di sisi lain, othok-othok juga bisa membangkitkan ekonomi kerakyatan karena setiap supporter pasti ingin memainkan othok-othok sebagai wujud dukungan nyata kepada sang pemain. Keinginan ini menjadi mutlak jika setiap supporter diharuskan memegang othok-othok, seperti pertandingan seminggu yang lalu, pemberian karcis juga disertai othok-othok.

Pemakaian asesoris pendukung tim pemain ini jelas berdampak ke dalam bidang ekonomi. Jelas bahwa othok-othok ini diproduksi oleh rakyat dari kelas menengah ke bawah. Melihat siapa yang memproduksi mainan ini, terobosan baru di dunia sepak bola akan berdampak positif pada ekonomi kerakyatan.

Kebutuhan othok-othok bagi tiap supporter membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Harapannya, tim Pasoepati mampu menggandeng pihak-pihak pelaku usaha kecil menengah. Sehingga, momen-momen pertandingan sepak bola benar-benar bisa mendukung ekonomi rakyat. Kerja sama antara Pasoepati dan para produsen mainan tradisional ini juga untuk mencegah adanya monopoli dalam pengadaan othok-othok.

Merambah Segmen Keluarga
Kedepannya, othok-othok akan mampu menaikkan jumlah penonton pertandingan sepak bola. Secara psikis, othok-othok sangat bersahabat dengan anak-anak. Mereka akan senang memainkannya. Apalagi, othok-othok merupakan hal yang baru bagi anak-anak era sekarang dan mainan tersebut hanya dibanderol seharga kurang atau sama dengan Rp5.000,00, harga yang cukup terjangkau.

Jika anak-anak ikut menonton pertandingan, wajarnya akan ditemani ayahnya dan tidak menutup kemungkinan akan keikutsertaan ibunya juga. Dengan demikian, othok-othok akan mengubah iklim yang “mengerikan” menjadi menyenangkan. Jika memang nantinya laga sepak bola benar-benar bisa dinikmati semua kalangan, oknum-oknum yang selama ini biasa memancing kerusuhan akan sungkan dengan sendirinya.

Selama ini ajang pertandingan sepakbola dirasa “mengerikan” karena kadang dibumbui dengan tawuran dan gleyeran motor. Dua kegiatan ini jelas menimbulkan kegelisahan bagi warga sekitar. Dengan adanya othok-othok ini diharapkan mampu menggeneralisasi penonton, memperluas segmentasi pasar penikmat sepak bola. Dari yang awalnya hanya dinikmati secara dominan oleh laki-laki remaja hingga dewasa, kini akan mulai dinikmati oleh anak-anak dan wanita. Dengan demikian, akan ada pergeseran dari penonton genre remaja menjadi keluarga.

Dengan bertambahnya target market penonton, maka bertambah pula kebutuhan othok-othok. Permintaan othok-othok yang banyak akan mendorong para produsen juga menambah penawaran produknya. Jika memang benar ini terjadi, peningkatan jumlah permintaan othok-othok dapat meningkatkan pendapatan para produsen mainan tradisional yang kini mulai tergerus oleh perkembangan jaman.

Tidak berhenti pada permintaan untuk satu jenis barang saja. Barang komplementer dari othok-othok, misalnya kaos bola dan asesoris sepak bola lainnya, pun juga akan mendulang manisnya kenaikan omzet yang signifikan.

Untuk mencapai harapan tertinggi, alangkah baiknya ide othok-othok ini dapat dikonsep dan diaplikasikan dengan indah. Sehingga, tidak akan terulang lagi complain dari sejumlah supporter yang mengeluhkan bunyi othok-othok memekakkan telingan dan menutupi bunyi chant-chant seperti kejadian beberapa hari yang lalu.

Jadi, tidak setiap supporter bebas menyuarakan othok-othok, melainkan harus ada koordinasi yang baik. Koordinasi yang baik bisa diperoleh dengan mengikutsertakan tim kreatif yang ahli dalam bidang seni musik, sehingga othok-othok tidak sekedar “othok-othok”.

Harmony othok-othok yang dikemas sedemikian rupa akan memberikan kesan positif bagi penonton di arena pertandingan pada khususnya dan masyarakat Solo pada umumnya. Bagi yang belum pernah memainkan othok-othok di arena pertandingan akan penasaran dan ingin mencobanya. Rasa penasaran tersebut bisa muncul setelah mendengar langsung omongan orang atau dari media sosial. Apalagi, sekarang ada di era digital yang dikit-dikit update, dikit-dikit upload. Cepatnya arus informasi ini menjadi tantangan sendiri bagi manajemen Pasoepati agar selalu hati-hati dalam pengelolaan othok-othok.


Dengan adanya terobosan baru ini, diharapkan mampu memberikan warna positif dan iklim kondusif di dunia persepakbolaan tanah air. Harapan jangka panjangnya, Pasoepati bisa menjadi tim percontohan bagi tim supporter di daerah lain di Indonesia maupun dunia.

Ditulis oleh Helti Nur Aisyiah – Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Surakarta – aisyah76@gmail.com