Pages

Tuesday, 7 February 2017

Benchmark Aturan Pengamen dan Pengemis dari Kota Solo

Senang rasanya melintas jalanan kota Solo yang semakin bersih dari penyimpangan sosial yang biasanya dahulu sering dijumpai di perempatan jalan. Ada pengamen dan pengemis di setiap bangjo. Saya menulis ini bukannya pelit untuk berbagi rezeki kepada mereka, melainkan ada kejanggalan melihat polah dan kenyataan mereka yang sesungguhnya. Mulai dari usia remaja yang sudah mengamen, bahkan mengemis. Mengamen itu agak mending karena ada usaha untuk menyanyi, hitung-hitung dia menjual suara. Seharusnya, di usia-usia remaja seperti itu mereka ada dalam pengawasan orang tua di rumah entah itu belajar maupun sekedar kegiatan sosial di sekeliling rumah. Ironisnya, saya pernah dapat cerita dari tetangga bahwa pengamen dan pengemis usia muda ini hanya untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan. Sebut saja untuk merokok dan gaya hidup lainnya.
Ini baru usia muda, belum usia pekerja yang masih dibilang cukup lincah dan seharusnya ada di tempat kerja. Usia yang muda dan terlihat sangat sehat inilah yang membuat pikiran saya bergeliat bertanya dalam hati apakah sudah tidak ada lagi lowongan pekerjaan yang bisa menampung mereka. Seketika saya membuka Koran pada iklan baris yang begitu banyaknya menawarkan posisi pekerjaan. Belum lagi, banyak cerita dari berita bahwa sebagian dari mereka lebih kaya dari kita. Aneh rasanya memberi mereka selembar atau sekoin uang kepada yang lebih dari kita dalam hal materi walaupun dari segi penampilan lebih rendah dari kita. Lebih rendah bukan berarti mereka tidak mampu, melainkan untuk mendukung profesi sebagai peminta-minta.
Ada lagi, usia tua yang memakai tongkat dengan jalan yang terseok-seok. Saya pernah mendengar bahwa sang kakek ini mempunyai rumah mewah, sawah, beserta traktornya. Lebih aneh lagi bukan? Yang dimintai jauh lebih kesusahaan dari beliau ini. Apalagi, dia datangnya ke rumah-rumah kecil gang buntu yang notabene dompet saja masih kembang kempis seperti ini. Baiklah, fakta-fakta tentang pengemis dan pengamen dicukupkan saja. Tidak berhenti-berhenti kalau menguak fakta tentang mereka. Itu dulu, sekarang di Solo sudah hamper tidak ada pengemis. Nyaman. Sangat nyaman sekali melintas jalan utama Slamet Riyadi hingga Ir. Sutami saat perjalanan pulang-pergi kantor-rumah.

Kenyamanan di Solo kota nyatanya tidak sama dengan di luar Solo. Sebut saja, karanganyar dan Sukoharjo. Penikmat jalan seperti saya yang melintas pagi dan sore tahu betul rasanya menemui fenomena “tangan di bawah” yang ada di perbatasan Karanganya-Solo dan Solo-Sukoharjo. Betapa gelinya ketika lampu merah menyala, dari balik kaca mobil saya, saya melihat pengemis di atas kursi roda sedang merokok seenaknya dan main hp. Menggemaskan sekali bukan? Nah, kalau begini, alangkah baiknya pemerintah Sukoharjo dan Karanganya melakukan bencmarking atau meniru kebijakan yang telah sukses dilakukan oleh pemerintah Solo, yakni membebaskan jalanan dari pengamen dan pengemis. Kalaupun masih ada, itu kenakalan oknum pengemisnya. Toh, dulu saya pernah mendapati gelandangan yang sedang asik mengemis, tiba-tiba ditarik oleh dia satpol pp ke pinggir jalan untuk dikenai sanksi.

No comments: