Senang rasanya melintas jalanan
kota Solo yang semakin bersih dari penyimpangan sosial yang biasanya dahulu
sering dijumpai di perempatan jalan. Ada pengamen dan pengemis di setiap
bangjo. Saya menulis ini bukannya pelit untuk berbagi rezeki kepada mereka,
melainkan ada kejanggalan melihat polah dan kenyataan mereka yang sesungguhnya.
Mulai dari usia remaja yang sudah mengamen, bahkan mengemis. Mengamen itu agak
mending karena ada usaha untuk menyanyi, hitung-hitung dia menjual suara. Seharusnya,
di usia-usia remaja seperti itu mereka ada dalam pengawasan orang tua di rumah
entah itu belajar maupun sekedar kegiatan sosial di sekeliling rumah. Ironisnya,
saya pernah dapat cerita dari tetangga bahwa pengamen dan pengemis usia muda
ini hanya untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan. Sebut saja untuk merokok
dan gaya hidup lainnya.
Ini baru usia muda, belum usia
pekerja yang masih dibilang cukup lincah dan seharusnya ada di tempat kerja. Usia
yang muda dan terlihat sangat sehat inilah yang membuat pikiran saya bergeliat
bertanya dalam hati apakah sudah tidak ada lagi lowongan pekerjaan yang bisa
menampung mereka. Seketika saya membuka Koran pada iklan baris yang begitu
banyaknya menawarkan posisi pekerjaan. Belum lagi, banyak cerita dari berita
bahwa sebagian dari mereka lebih kaya dari kita. Aneh rasanya memberi mereka
selembar atau sekoin uang kepada yang lebih dari kita dalam hal materi walaupun
dari segi penampilan lebih rendah dari kita. Lebih rendah bukan berarti mereka
tidak mampu, melainkan untuk mendukung profesi sebagai peminta-minta.
Ada lagi, usia tua yang memakai tongkat
dengan jalan yang terseok-seok. Saya pernah mendengar bahwa sang kakek ini
mempunyai rumah mewah, sawah, beserta traktornya. Lebih aneh lagi bukan? Yang dimintai
jauh lebih kesusahaan dari beliau ini. Apalagi, dia datangnya ke rumah-rumah
kecil gang buntu yang notabene dompet saja masih kembang kempis seperti ini.
Baiklah, fakta-fakta tentang pengemis dan pengamen dicukupkan saja. Tidak berhenti-berhenti
kalau menguak fakta tentang mereka. Itu dulu, sekarang di Solo sudah hamper tidak
ada pengemis. Nyaman. Sangat nyaman sekali melintas jalan utama Slamet Riyadi
hingga Ir. Sutami saat perjalanan pulang-pergi kantor-rumah.
Kenyamanan di Solo kota nyatanya
tidak sama dengan di luar Solo. Sebut saja, karanganyar dan Sukoharjo. Penikmat
jalan seperti saya yang melintas pagi dan sore tahu betul rasanya menemui
fenomena “tangan di bawah” yang ada di perbatasan Karanganya-Solo dan
Solo-Sukoharjo. Betapa gelinya ketika lampu merah menyala, dari balik kaca
mobil saya, saya melihat pengemis di atas kursi roda sedang merokok seenaknya dan
main hp. Menggemaskan sekali bukan? Nah, kalau begini, alangkah baiknya
pemerintah Sukoharjo dan Karanganya melakukan bencmarking atau meniru kebijakan yang telah sukses dilakukan oleh
pemerintah Solo, yakni membebaskan jalanan dari pengamen dan pengemis. Kalaupun
masih ada, itu kenakalan oknum pengemisnya. Toh, dulu saya pernah mendapati
gelandangan yang sedang asik mengemis, tiba-tiba ditarik oleh dia satpol pp ke
pinggir jalan untuk dikenai sanksi.
No comments:
Post a Comment