Pages

Monday, 13 February 2017

Solo Macet Parah

Kini, macet bukan hanya milik ibu kota (Jakarta). Soloku sudah seperti ibu kotaku. Di mana-mana ramai, di mana-mana macet. Perjalanan antar kotamadya-kabupaten yang biasanya hanya beberapa menit bisa sampai satuan jam. Lebih-lebih pada jam berangkat sekolah/kerja dan jam pulang sekolah/kerja. Kalau perjalanan dari Kartasura sampai Palur yang pastinya melewati Solo Kota terlihat betul beberapa titik kemacetan: pertigaan UMS hingga pertigaan UNS. Kalau bisa disimpulkan, setiap bangjo (trafic light) di kota Solo bisa menghabiskan beberapa ronde warna merah.


Ini tidak hanya berbicara tentang kendaraan pribadi saja. Di jalanan pasti banyak sekali kendaraan plat kuning. Katakanlah bus, taxi, becak, hingga gojek ikut meramaikan suasana perjalanan darat. Gojek? Ya, gojek sudah banyak peminat di sini.


Mantap kan? Belum lagi jika ada kereta lewat. Bisa sampai mengular tuh antrian kendaraan.



Dan... ketika sedang mengular hingga jauh, para pelajar dengan motor mereka tiba-tiba menyeberang di tengah-tengah antrian kendaraan.



Makin kacau kan? Tapi jangan kuatirkan keadaan ini. Masih ada jiwa-jiwa yang bersahabat dengan pengguna jalanan Solo. Ya, merekalah bapak Supeltas yang rela berdesak-desakan dalam padatnya alur lalu lintas di Solo yang pastinya membuat perjalanan warga yang di sini semakin lancar.


Senyum supeltasnya... Ketegasannya berujung kelancaran berlalu lintas. Menyenangkan bukan? Masih mau berkunjung di kota kami? Nyantai saja... kota kami macet, tetapi jalannya lancar. Kalau kita ikut analogi warung, warung yang ramai itu biasanya enak. Nah, kalau kota, makin banyak wisatawan makin menarik destinasi kota tersebut. Yuk, main ke kota kami, Solo.



Tuesday, 7 February 2017

Benchmark Aturan Pengamen dan Pengemis dari Kota Solo

Senang rasanya melintas jalanan kota Solo yang semakin bersih dari penyimpangan sosial yang biasanya dahulu sering dijumpai di perempatan jalan. Ada pengamen dan pengemis di setiap bangjo. Saya menulis ini bukannya pelit untuk berbagi rezeki kepada mereka, melainkan ada kejanggalan melihat polah dan kenyataan mereka yang sesungguhnya. Mulai dari usia remaja yang sudah mengamen, bahkan mengemis. Mengamen itu agak mending karena ada usaha untuk menyanyi, hitung-hitung dia menjual suara. Seharusnya, di usia-usia remaja seperti itu mereka ada dalam pengawasan orang tua di rumah entah itu belajar maupun sekedar kegiatan sosial di sekeliling rumah. Ironisnya, saya pernah dapat cerita dari tetangga bahwa pengamen dan pengemis usia muda ini hanya untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan. Sebut saja untuk merokok dan gaya hidup lainnya.
Ini baru usia muda, belum usia pekerja yang masih dibilang cukup lincah dan seharusnya ada di tempat kerja. Usia yang muda dan terlihat sangat sehat inilah yang membuat pikiran saya bergeliat bertanya dalam hati apakah sudah tidak ada lagi lowongan pekerjaan yang bisa menampung mereka. Seketika saya membuka Koran pada iklan baris yang begitu banyaknya menawarkan posisi pekerjaan. Belum lagi, banyak cerita dari berita bahwa sebagian dari mereka lebih kaya dari kita. Aneh rasanya memberi mereka selembar atau sekoin uang kepada yang lebih dari kita dalam hal materi walaupun dari segi penampilan lebih rendah dari kita. Lebih rendah bukan berarti mereka tidak mampu, melainkan untuk mendukung profesi sebagai peminta-minta.
Ada lagi, usia tua yang memakai tongkat dengan jalan yang terseok-seok. Saya pernah mendengar bahwa sang kakek ini mempunyai rumah mewah, sawah, beserta traktornya. Lebih aneh lagi bukan? Yang dimintai jauh lebih kesusahaan dari beliau ini. Apalagi, dia datangnya ke rumah-rumah kecil gang buntu yang notabene dompet saja masih kembang kempis seperti ini. Baiklah, fakta-fakta tentang pengemis dan pengamen dicukupkan saja. Tidak berhenti-berhenti kalau menguak fakta tentang mereka. Itu dulu, sekarang di Solo sudah hamper tidak ada pengemis. Nyaman. Sangat nyaman sekali melintas jalan utama Slamet Riyadi hingga Ir. Sutami saat perjalanan pulang-pergi kantor-rumah.

Kenyamanan di Solo kota nyatanya tidak sama dengan di luar Solo. Sebut saja, karanganyar dan Sukoharjo. Penikmat jalan seperti saya yang melintas pagi dan sore tahu betul rasanya menemui fenomena “tangan di bawah” yang ada di perbatasan Karanganya-Solo dan Solo-Sukoharjo. Betapa gelinya ketika lampu merah menyala, dari balik kaca mobil saya, saya melihat pengemis di atas kursi roda sedang merokok seenaknya dan main hp. Menggemaskan sekali bukan? Nah, kalau begini, alangkah baiknya pemerintah Sukoharjo dan Karanganya melakukan bencmarking atau meniru kebijakan yang telah sukses dilakukan oleh pemerintah Solo, yakni membebaskan jalanan dari pengamen dan pengemis. Kalaupun masih ada, itu kenakalan oknum pengemisnya. Toh, dulu saya pernah mendapati gelandangan yang sedang asik mengemis, tiba-tiba ditarik oleh dia satpol pp ke pinggir jalan untuk dikenai sanksi.

Friday, 3 February 2017

Tutor, Guru, dan Dosen

Baru pertama ini jadi dosen, baru pertama juga menyusun silabus yang notabene berbeda dengan apa yang sudah terlalui dahulu. Dulu, saya seorang tutor dan guru. Benar, benar yang dikatakan atasan saya bahwa bekerja di bimbel itu tidak serumit guru dan dosen yang harus tertib dalam hal administrasi mulai dari perencanaan hingga pelaporan kinerja mengajar. Di dunia bimbel itu enak sekali. Cukup hanya dengan satu kitab suci, sebut saja koding dan kunci jawabannya, sang tutor sudah bisa melenggang di kelas tanpa persiapan apapun. Berbeda dengan guru, harus menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dahulu jauh-jauh hari sebelum masuk ke kelas. Berbeda lagi dengan dosen yang harus menyusun silabus sendiri. Silabus disusun sendiri? Ya, ini yang sedang memberatkan saya saat ini. Harus membaca banyak buku dulu untuk disarikan agar bisa disampaikan ke mahasiswa hingga 13 pertemuan. Dilemanya lagi, jika saya sudah beli buku, mahasiswa tidak ada yang punya, tersendatlah proses pembelajaran di kelas. Di sinilah saya kadang galau. Jadi, kalau boleh saya bandingkan ke dalam table akan muncul data berikut.

Pembanding
Tutor
Guru
Dosen
Pendidikan terakhir
Semester akhir S1
S1
S2
Silabus
Disusun bagian akademik
Disusun Kemendikbud
Disusun sendiri
RPP
Cukup memakai sketsa, yaitu satu lembar folio berisi rencana tulisan di whiteboard
Disusun sendiri jauh-jauh hari sebelum masuk kelas dilampiri soal dan kunci jawaban
Sudah include ke dalam silabus dan tidak perlu rinci
Buku Ajar
Disediakan oleh bimbel (diberikan cuma-cuma beserta kunci jawaban)
Disediakan pemerintah atau boleh memilih sendiri (guru dapat sampel dari penerbit)
Memilih sendiri (pembelian memakai uang pribadi)
Media Ajar
Spidol warna-warni
Spidol hitam atau slide
Spidol hitam atau slide
Penilaian peserta didik
Tidak ada
Menilai tiga ranah: pengetahun, keterampilan, sosial, dan spiritual
Minimal menilai ranah pengetahuan dan maksimal ditambah keterampilan (praktek)
Jenjang karir
Dinilai dari dua sisi: tes bulanan dari akademik berisi soal-soal UN, Olimpiade, dan SNMPTN; kedekatan dengan siswa (makin dekat, makin sering diminta ngajar)
Mengikuti serangkaian Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan ada sistem kredit point
Mengikuti serangkaian Penilaian Kinerja Dosen (PKD) dan ada sistem kredit point
Jam Kerja
Setiap hari: Senin-Sabtu (sore s.d. malam); minggu (pagi s.d. siang)
Tergantung kebijakan sekolah. Sekolah negeri mengikuti aturan pemerintah, sedangkan swasta mengikuti aturan yayasan.
Senin s.d. Jum’at jadwal ditentukan pihak akademik. Namun, boleh berubah sesuai kesepakatan dengan mahasiswa
Tugas Tambahan
akademik atau marketing
kurikulum, kesiswaan, humas, atau sarpras
Jurnal ilmiah, perpustakaan, auditor internal, humas, dsb. Bisa di fakultas maupun pusat
 Itu saja yang barus ada di benak saya. Saya pikir-pikir tidak ada yang sempurna. Setiap pekerjaan ada plus dan minusnya. Dulu saya memutuskan resign dari tutor karena jam kerja, resign dari guru karena jadwal tidak fleksibel (anak juga perlu diurus. Hehe..), dan sekarang lebih concern ke dosen. Semoga ini profesi yang terakhir dan akan terus menikmati profesi ini.