Pages

Wednesday, 29 November 2017

Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola yang Efektif


Disampaikan oleh Dr. Raditya Sukmana, S.E., M.A.

Diskusi ini akan menjawab tentang bagaimana riba diturunkan oleh wakaf?
Sekarang ini, Bank Indonesia (BI) sudah mulai mengurusi di luar perbankan. Misalnya, sudah mau ngurusi pesantren, ada unsur wakaf di situ. BI melihat bahwa mereka harus membantu Baznas dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) agar performance-nya lebih baik lagi. Fokusnya lebih ke dalam hal tata kelola.

Adakah standar yang pengelolaan keuangan syariah level Internasional? Belum! Arab, malaysia, dsb jalan sendiri2. Oleh karenanya, BI mulai menginisiasi untuk menyusun standar pengelolaan zakat wakaf.

Hakekatnya, laba dari wakaf produktif digunakan untuk kepentingan sosial. Kalau mengambil kasus di Turki yang saking tidak ada yang perlu disantuni,maka laba wakaf sosial dipakai untuk memberikan makanan bagi buruh-buruh di sana. Ini berbeda sekali dengan kondisi Indonesia saat ini. Di turki, burung-burung saja makmur, apalagi manusia-manusianya.

Setelah mendeskripsikan potensi wakaf di Indonesia, peserta conference di South Africa menyelamati pak radit dengan memberikan doa dan harapan agar Indonesia bisa menjadi pusat keuangan syariah. Pengalaman lainnya di Januari kemarin beliau ke Nigeria, beliau diminta berbicara tentang wakaf. Perjalanan dari hotel ke kampus, beliau melihat banyak anak seusia SD bertebaran di jalanan. Di jalanan mereka membawa mangkok dengan harapan ada yang memberi sedekah. Beliau bertanya, kenapa mereka tidak sekolah padahal sekolah sudah digratiskan. Ternyata, orang tua tidak memandang penting tentang pendidikan. Jadi, wajar jika penampilan orang nigeria minimalis karena memang tidak begitu antusias dengan sekolah walaupun sebenarnya pemerintah sudah berupaya memberikan perhatian lebih pada anak-anak bangsa mereka.

Kalau berbicara tentang turki yang hasil wakafnya dipakai untuk perkembangan di hospital, luar biasa hebat. Sampai-sampai ada perawat yang mau memastikan mantan pasien tentang kesembuhannya hingga ke rumah. Pakai apa perawatn atau dokter ke rumah mantan pasien itu? Pakai dana laba wakaf produkti. Keren bukan?

Ahli wakaf di Turki dalam bukunya mengatakan bahwa wakaf dapat menurunkan riba. Benar! Analoginya, presiden mengundang sekelompok orang terkaya dan dermawan se-Indonesia. Presiden menunjukkan RAPBN yang defisit. Presiden menyampaikan rencana untuk mengambil utang untuk menutup defisit. Ada satu orang kaya dan dermawan, mengatakan agar dana sektor pendidikan , kesehatan, dan infrastruktur dihapuskan saja, Pak!". Kami punya rencana untuk dialihkan kepada tanggung jawab kami. Kami akan mendirikan gedung pendidikan fasilitas kesehatan, dan infrastruktur, dsb dari wakaf kami. Kecil bagi kami. Kalau sudah begini, pemerintah ndak perlu lagi utang yang di dalamnya ada riba.

Kasus yang nyata di Surabaya, bu Risma memindahkan pengemis-pengemis di traffic light ke suatu tempat untuk dibekali keterampilan. Ini jelas memakai dana APBD. Sementara di waktu lain, lembaga amil zakat juga ada program yang berfokus pada hal yang sama.

Dengan analogi dan kasus tersebut, mengapa antara lembaga amil zakat wakaf dan pemerintah bekerja sama?

Pernah dengar Zam-zam tower? Ternyata itu gedung wakaf. Penggalangan dana menggunakan sukuk intiva. Untung ndak mendirikan gedung di dekat Masjidil Haram? Jelas! Itu tentang analisis SWOT terhadap pelaksanaan ibadah haji. Pemerintah Arab saja benar-benar memanfaatkan sistem wakaf, kapan dengan Indonesia? Suatu saat nanti InsyaAllah.

Kalau berbicara tentang wakaf tunai, belajarlah dari Singapore. Di sana sudah ditentukan berapa jumlah cash wakaf bagi pekerja muslim di sana. Rentang paling sedikit adalah penghasilan nol hingga 1000 dolar singapura (sekitar 9 juta rupiah), gaji dipotong 1 dolar singapura (sekitar 9 ribu rupiah) oleh kementerian keuangan di sana. Kok bisa? Pemerintah di sana memiliki data rekening pekerja muslim di Singapura. Sebenarnya wakaf uang sudah pernah ada di zaman pak SBY, tapi ya hanya sekali saja tidak kontinu. Kalau ini kontinu, akan seindah apa Indonesia ini?

Untuk memulai tata kelola wakaf yang baik, bisa dimulai dari perbaikan tim BWI. Contoh kasus ada di BWI Jawa Timur. Kebetulan Pak Radit ini anggota tim BWI. Belia bercerita bahwa ketua BWI Jawa timur berketua profesor di IAIN Surakarta dan wakilnya pegawai Kementerian Agama. Jelas BWI hanya menjadi second job kan? Beliau pun menyadari kalau BWI sering tutup karena memang pekerjaan utamanya ada di kampus sebagai dosen. Jadi, ini jelas PR besar bagi kita selaku pengharap wakaf bisa diterapkan betul di Indonesia.

*tulisan ini bersifat subjektif yang disarikan oleh Helti Nur Aisyiah, M.Si. Selaku peserta Training of Trainer Modul Zakat, Wakaf, dan Usaha Mikro Islam di Ruang Senat IAIN Surakarta tanggal 30 November 2017.




Saturday, 18 November 2017

Berburu Beasiswa (Lagi)

Beasiswa itu suatu hal yang sangat nikmat. Nikmatnya ada dua sisi: internal dan eksternal. Secara internal, kebutuhan akan pendidikan akan tercover baik sebagian besar maupun keseluruhan. Secara eksternal, ada sebuah pretige yang akan melekat pada penerima beasiswa tersebut. Ada kebanggan, ada kesenangan, dan ada sejarah yang takkan pernah terlupa.

Hidupku, hidupmu, dan hidupnya jelas berbeda. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Setiap orang boleh punya rencana yang sama, tetapi pencapaiannya jelas berbeda. Setiap orang boleh bermimpi, berencana, dan berusaha menerima beasiswa, tetapi tidak setiap orang bisa mendapatkannya. Beasiswa itu seperti harta karun di mana sebagian besar orang menginginkan dan memperjuangkannya, tetapi hanyalah orang yang beruntung yang mendapatkannya.

Mimpiku sudah tercapai: mendapatkan beasiswa sedari SMP hingga S2. SMP dan SMA, beruntungnya aku mendapatkan beasiswa dari Yayasan Al Islam gegara pencapaian prestasi secara paralel, juara 5 besar satu angkatan. Selepas sekolah, beasiswa pun masih melekat dalam keseharianku selama mengenyam pendidikan. S1-ku sebagian besar tercover oleh beasiswa dari Dikti jenis Peningkatan Prestasi Akademik, sedangkan S2-ku oleh beasiswa dari Kementerian Luar Negeri. Menyenangkan bukan?

Itu masa laluku. S2 selesai tahun 2014. Jadi, sudah hampir 3 tahun tak bersilaturrohiim dengan yang namanya beasiswa. Rasanya rindu. Dan sepertinya rinduku akan terjawab. Pagi tadi, ibu mengiyakan pengutaraan keinginanku untuk lanjut S3. Alhamdulillah, pihak keluarga mendukung. Kini, giliranku untuk kembali berjuang merealisasikannya. Allah, bersamaiku di setiap langkah ya... Aamiin.

(Helti Nur Aisyiah, Pemburu Beasiswa)

Wednesday, 8 November 2017

Ojek Online yang Disayang dan Ditendang

Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit? Prinsip inilah yang dijalankan oleh pengusaha ketika akan melakukan pendekatan pada calon pelanggan. Bagi pemilik usaha atau minimal marketing perusahaan, masyarakat adalah calon "kekasih". Dengan demikian, pengusaha berpikir tentang bagaimana caranya memikat calon konsumen agar tertarik untuk menggunakan barang atau jasa perusahaan.

Rupanya gaya memudahkan calon pelanggan sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh setiap pelaku usaha. Salah satunya adalah gojek. Hanya dengan genggaman tangan, touch aplikasi dari play store atau appstore , seseorang bisa dengan mudah memanggil ojek di manapun dia berada. Namun, pedekate yang mulai memikat warga Solo ini mengalami banyak hambatan. Dari mulai ungkapan keberatan hingga aksi bentrok yang nyata-nyata menolak keberadaan gojek di area Solo.

Memahami konflik kepentingan antara ojek online dan mode transportasi lainnya, sebenarnya ini sudah hal yang umum dan pernah terjadi di masa lalu. Sebut saja taksi dan ojek non online yang saat ini secara terang-terangan menolak adanya gojek sebenarnya juga menggeser mode transportasi tradisional di masa lalu. Bedanya, kita sekarang ada di era digital, sehingga apa saja yang dikeluhkan bisa langsung viral.

Kalau kita berselancar di media sosial, banyak komentar pro dan kontra tentang keberadaan gojek. Komentar pro notabene dilontarkan oleh para pelanggan gojek yang sudah mulai terpikat dengan fitur layanan yang serba memudahkan konsumen, sedangkan komentar kontra disampaikan oleh masyarakat yang empati terhadap nasib pelaku mode transportasi yang merasa tersaingi oleh gojek. Sangat disayangkan jika kondisi ini hanya sebatas komentar-komentar di media online maupun offline. Sebaiknya ada yang menampung aspirasi warga melalui komentar-komentar tersebut.

Dalam kesempatan yang lalu, walikota Solo membuat sebuah kebijakan ekonomi yang menyatakan bahwa gojek hanya diijinkan beroperasi dalam pengangkutan barang, bukan penumpang. Namun, sepertinya apa yang disampaikan walikota hanyalah angin lalu. Kondisi ini dibuktikan dengan masih adanya gojek yang mengangkut penumpang. 

Kalau kita membuka laman demi laman dalam aplikasi gojek, pengiriman barang hanyalah fitur tambahan yang diberi nama "go-send" untuk barang dan "go-food" untuk makanan. Dari kedua fitur tersebut, sepertinya go-food paling diminati. Fitur ini terbukti mampu menaikkan omzet penyedia makanan. Bahkan, ada restoran yang menyarankan menggunakan go-food saja dengan alasan antrian panjang jika makan di tempat. Dan memang benar, ada jalur khusus untuk pemesan makanan via go-food. Ini sisi lain salah satu fitur gojek yang menarik. Namun sejatinya, fitur yang paling utama memang mengangkut penumpang. Jika yang utama dihapuskan, maka akan menghilangkan esensi dari gojek itu sendiri.

Mari Berdamai 
Masing-masing lapisan masyarakat pastinya sudah menunggu win-win solution dari pemerintah daerah (pemda) agar konflik kepentingan tidak berlarut-larut. Apalagi, ini menyangkut kehidupan ekonomi masyarakat yang sedang memanas, terutama para lakon (transportasi online dan offline). Sudah bisa dipastikan bahwa masyarakat Solo merindukan kedamaian dalam melakukan aktivitas ekonomi.

news.idntimes.com
Dalam situasi ini, sebaiknya pemda benar-benar menjadi penengah. Bukan hanya pada satu elemen masyarakat saja melainkan harus mencakup semua lapisan. Ditambah lagi, tidak hanya orang Solo saja, melainkan orang perantauan yang kebetulan sedang menempuh studi, bekerja, dan urusan lainnya yang mengharuskan mereka untuk tinggal di sini.

Mengakhiri konflik tidak cukup hanya dengan mendatangkan kedua belah pihak, ojek online dan offline. Pemda hendaknya juga melibatkan masyarakat baik yang pro maupun kontra dengan adanya gojek.

Untuk efisiensi, bisa dilakukan dengan survey. Tentunya, ditujukan kepada semua kalangan. Kalaupun harus memakai sampel, harus dipilah seobjektif mungkin. Hal ini dikarenakan oleh sesuatu yang kita anggap sepele bisa jadi sangat berarti bagi kalangan tersebut. Kepentingan masing-masing pihak berbeda, tergantung dengan sudut pandang.

Cara paling mudah dalam melakukan survey adalah dengan menggandeng salah satu penyedia layanan komunikasi dan lembaga riset. Penyedia layanan komunikasi (provider) diikutkan untuk proses yang cepat, sedangan lembaga riset untuk hasil yang tepat. Ini seperti e-voting, tetapi bukan sekedar menjawab setuju atau tidak, melainkan juga bisa ditambahi alasan yang logis. 

Setelah data diperoleh, interpretasi data hendaknya dilakukaan oleh profesional yang tidak memiliki kepentingan. Dengan demikian, solusi yang terbentuk dari hasil survey benar-benar murni dari aspirasi warga Solo pada khususnya dan warga perantauan pada umumnya.

Tulisan ini dimuat di UC News tanggal 17 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~