Pages

Thursday, 27 July 2017

Trik Ng-iklan yang Bikin Customer Nggak Bisa Menghindar

Sepertinya akan jarang terdengar ucapan “Nunggu jeda iklan dulu ya….” sebagai kode seseorang akan melakukan aktivitas di sela-sela program acara televisi atau hanya sekedar mengganti channel untuk menghindari iklan-iklan. Kini, konsumen sudah mulai merasa lebih sulit untuk menghindari pesan komersil tersebut. Nampaknya pengiklan sudah mulai lihai memainkan strategi dalam hal memikat konsumen.
Bagi penikmat sinetron, pasti sudah hafal strategi iklan yang sedang marak saat ini. Iklan tidak lagi ditempatkan dalam space tersendiri, melainkan include dalam alur cerita. Bahkan, pada sosialisasi sinetron dalam sebuah stasiun televisi swasta jelas-jelas menyebutkan bahwa program acara tersebut akan tayang tanpa jeda iklan. Kebijakan manajemen media tersebut jelas sangat memanjakan para penikmat program acara televisi.
Sebenarnya dibalik iming-iming tanpa atau iklan dalam jumlah minimal, tetap ada kecenderungan penonton untuk tidak bisa lepas dari iklan. Dalam beberapa sinteron, mau tidak mau, penonton akan tetap melihat dan menikmati konten iklan, tetapi secara tersirat. Salah satu contoh penempatan iklan tersirat yang paling dominan bisa dilihat pada adegan kumpul bersama antartokoh yang kemudian mengeluarkan produk tertentu untuk dimakan atau diminum bersama. Strategi lainnya, percakapan dalam sebuah adegan sengaja dilakukan di bawah baliho yang di sana sudah menayangkan iklan produk tertentu. Kalau sudah begini, bagaimana bisa menghindar dari iklan. Dulu yang biasanya sambat, sekarang harus mulai bersahabat.
Dalam dunia media, iklan yang tersirat pada alur cerita dinamakan product placement, yaitu suatu kegiatan yang bertujuan untuk berpromosi dengan cara menempatkan secara aktif maupun pasif atribut produk seperti logo, merek atau nama perusahaan dari suatu barang atau jasa ke dalam alur cerita film atau acara televisi lainnya (Subari, 2012: 11). Strategi menempatkan iklan dalam alur cerita tersebut bisa dikatakan sangat menarik. Apalagi, diperankan langsung oleh para aktor dan aktris yang sudah terbiasa menjiwai karakter beberapa tokoh, sehingga diharapkan mampu benar-benar menjalankan fungsi persuasi iklan, yaitu mengajak penonton untuk juga bisa menikmati produk yang diiklankan di dunia nyata. Seperti makna iklan yang sebenarnya, yaitu pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media (Kasali, 1995: 9).
Dalam menawarkan pun sudah semestinya menggunakan teknik komunikasi yang kreatif, sehingga tepat sasaran, konsumen terkesan, dan tidak membosankan. Apalagi, memang iklan tersirat ini memang tidak seharusnya terlihat sedang beriklan, melainkan hanya samar-samar. Widyatama (2011: 43) mengatakan bahwa dalam memperkenalkan barang atau jasa bisa dilakukan tanpa ada unsur memaksa atau membujuk untuk membeli atau menggunakan. Dengan demikian, perlu adanya rencana yang sistematis untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Iklan dalam sinetron yang sedang marak saat ini sebenarnya bukan hal yang baru, melainkan sudah ada pada sinetron sebelumnya, misalnya Para Pencari Tuhan Jilid 5 (2011), Binar Bening Berlian (2011), dan Aliya (2012). Selain melanjutkan dan menyemarakkan strategi yang sudah ada sebelumnya, iklan dalam sinetron juga sebagai hasil adopsi dari dunia perfilman. Kalau lihat film Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011) dan Habibie Ainun (2012), pasti ingat iklan apa saja yang tersirat dalam film tersebut. Itu baru beberapa film nasional yang disebutkan, belum film skala internasional.
Selain sinetron dan film, iklan tersirat juga bisa terlihat dalam kuis yang mensponsori sinetron dan program acara infotainment. Kita bisa menghindari iklan dalam kuis dan infotainment yang diperankan oleh artis, tetapi tidak bisa pada sinetron dan film. Hal ini dikarenakan jika ingin tahu alur cerita, maka memang harus stand by melihat dari awal hingga akhir yang di sela-sela adegan disisipi iklan.
Cerdas Beriklan
Persaingan bisnis yang makin ketat menuntut para pengusaha, termasuk marketing untuk memutar otak dalam hal menarik hati calon konsumen agar mau menggunakan produknya. Normalnya, orang akan jenuh dengan rentetan iklan yang panjang dan lama. Bahkan, dahulu ada durasi iklan melebih durasi program acara inti. Artinya, jika seseorang tidak berganti channel, penonton akan menonton iklan lebih lama dari pada alur cerita pada sinetron. Ini bisa dijumpai pada sinetron yang memiliki rating tinggi.
Biasanya, semakin tinggi rating, semakin banyak iklan yang ditawarkan. Akan tetapi, jika semakin banyak iklan, maka penonton pun akan terganggu. Dengan keadaan yang dilematis ini, nampaknya product placement menjadi solusi tepat bagi para pengiklan dan penikmat produk cerita visual, sinetron. Penonton akan dimanjakan dengan cerita yang lebih lama dan pengiklan juga bisa tetap menyampaikan pesan perusahaan tentang produknya.
Pada prosesnya, pasti ada yang suka dan ada yang tidak suka. Ini wajar, tetapi product placement ini menjadi pundi-pundi baru bagi produser untuk menutup biaya produksi dan promosi. Seperti diketahui bahwa iklan memang salah satu sumber penghasilan bagi sebuah sinetron.
Ke depannya, akan banyak benchmarking dari iklan tersirat dari jenis sinetron ini. Bahasa mudahnya, benchmarking bisa diartikan sebagai meniru kinerja perusahaan pesaing. Benchmarking bisa dilakukan dengan mengadopsi teknik pada perusahaan yang sama atau berbeda jenis. Strategi product placement dalam sinetron A bisa diterapkan pada sinetron B atau media yang berbeda, misalnya cerita dalam radio atau bahkan film dalam youtube yang sekarang sedang kekinian.

Jika melihat pesatnya perkembangan teknologi informasi dan menjamurnya virus kewirausahaan yang menjadikan setiap orang bisa jualan, sudah sepantasnya setiap penjual mulai jeli dalam menentukan strategi pemasaran. Buat apa barang atau jasa banyak dihasilkan, tetapi tidak terdistribusikan. Jadi, perlu adanya strategi pemasaran dengan hasil yang signifikan. Setiap pemilik usaha harus pintar mencari celah agar calon konsumen tidak risih dengan iklan yang dipasang. Jika ini terealisasikan, maka tercapai win-win solution: konsumen nyaman, pesan pemasaran tersampaikan. 

Tulisan ini terbit di media UC News tanggal 15 Oktober 2017
~ Helti Nur Aisyiah ~


Saturday, 1 July 2017

Nasionalisasi Ekonomi


Pasca mendengar pidato dari Presiden di momen Hari Kesaktian Pancasila, 1 Juni 2017, banyak yang ikut menyuarakan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” dengan lantang. Saya sangat terkesima dengan pilihan kata dalam pidato Bapak Jokowi. Indah sekali. Dalam tataran pragmatik, kalimat tersebut secara tidak langsung mampu membangkitkan kembali siapa jati diri bangsa ini, mampu mengembalikan dan meningkatkan kecintaan warga terhadap negaranya. Apalagi, pidato tersebut diucapkan di sela-sela kondisi Indonesia yang sedang “ramai” akhir-akhir ini.

Sebagai insan yang bergelut di bidang ekonomi, tentunya tergelitik untuk juga memikirkan bagaimana mengaplikasikan kalimat “Saya Indonesia, Saya Pancasila” ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak hanya di mulut saja. Sejatinya, setiap bangsa Indonesia akan kembali nasionalis tingkat tinggi setelah ada ‘benturan’ yang mengganggu keharmonisan bangsa. Bahkan, tingkat nasionalisnya akan lebih tinggi.

Salah satu contoh aplikasi “Saya Indonesia, Saya Pancasila” dalam bidang ekonomi adalah dengan nasionalisasi ekonomi. Nasionalisasi ekonomi diartikan bukan hanya dengan cara cinta produk-produk Indonesia yang kadang diartikan juga dengan menghindari produk-produk luar negeri. Memang, boikot terhadap produk tertentu yang selama ini digaungkan oleh komunitas tertentu sebenarnya ada baiknya, tetapi itu baiknya hanya berlaku bagi pengguna barang atau jasa (konsumen) dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional.

Berbeda dengan konsumen, jika produsen menghindari produk-produk luar negeri, itu akan menjadi langkah yang kurang tepat. Alangkah baiknya produsen tersebut mendekati produk-produk tersebut, terutama yang diminati oleh masyarakat. Pendekatan dilakukan dengan tujuan riset, untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap produk tersebut dan mengapa masyarakat bisa ‘jatuh hati’ pada produk tersebut.

Dengan adanya riset, produsen dapat menentukan langkah selanjutnya dalam memproduksi barang yang minimal sama dan maksimal mampu melebihi dari kualitas barang tersebut. Di sinilah peran inovasi. Inovasi pada level terendah dapat menggunakan jurus ATM, yaitu Amati, Tiru, dan Modifikasi. Namun, untuk ke depannya, diharapkan bisa dilakukan inovasi pada level menengah hingga tinggi yang mengedepankan hal-hal yang baru, bukan hanya menyajikan yang beda.

Satu lagi pelaku kegiatan ekonomi selain konsumen dan produsen adalah distributor. Peran pelaku strategis ini dalam nasionalisasi ekonomi bisa menyalurkan hasil produksi tidak hanya di wilayah Indonesia saja, melainkan ke seluruh dunia. Apalagi, sekarang sudah masuk era globalisasi dan teknologi informasi. Cukup dengan membuka smartphone, dunia ada di genggaman kita, artinya kita sudah bisa berinteraksi dengan siapa pun dan di mana pun, termasuk masyarakat luar negeri.

Inilah maksud nasionalisme yang sesungguhnya, yaitu bagaimana kita berkiprah untuk Indonesia pada ranahnya masing-masing. Namun, bertindak pun tidak dengan sekadarnya, melainkan dengan cerdas dan penuh persiapan, sehingga ouput dan outcome dari apa yang diusahakan maksimal. 

Ada beberapa langkah untuk mendukung nasionalisasi ekonomi di era global ini. Pertama, melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats) dengan penuh kehati-hatian, mendalam, dan terbuka. Kehati-hatian diperlukan karena bisa jadi kita menganggap sesuatu sebagai ancaman, padahal bisa jadi masa yang akan datang menjadi peluang. Mendalam juga dibutuhkan karena analisis yang kita susun tidak hanya untuk beberapa waktu saja, melainkan untuk waktu yang panjang sesuai dengan prinsip kelangsungan usaha, yaitu perusahaan berdiri dengan asumsi tidak ada harapan untuk berhenti (bangkrut), sehingga hal-hal yang rinci pun harus dipikirkan. Terbuka juga penting dilakukan mengingat manusia dengan subyektivitasnya rentan salah dalam menilai, sehingga perlu adanya Quality Control (QC). Dengan adanya QC, harapanya bisa meminimalisasi kesalahan analisis. 

Kedua, menambah dan meningkatkan kemampuan berbahasa. Melebarkan sayap, bukan sekedar pergi ke daerah yang lebih luas tanpa persiapan yang matang. Bayangkan jika kita warga Indonesia pergi ke suatu tempat yang di sana tidak ada sama sekali manusia yang bisa berbahasa Indonesia. Tamatlah riwayat kita, kecuali jika kita bisa menyamakan persepsi. Keadaan inilah yang dirasa penting bagi warga negara Indonesia di era global ini juga memperdalam bahasa asing, minimal bahasa kesepakatan dunia, yaitu Bahasa Inggris.

Ketiga, beradaptasi dengan teknologi. Teknologi yang makin hari makin banyak baiknya dipelajari dan dimanfaatkan untuk keperluan analisis produk dan pemasaran. Namun, kemampuan mengoperasikan teknologi bukan hal yang mutlak. Artinya, cukup dengan bekerja sama dengan rekanan yang ahli di bidang teknologi informasi untuk merealisasikan konsep yang dingikan.

Keempat, mempelajari regulasi antarnegara. Untuk melakukan kegiatan yang lebih luas lagi, alangkah baiknya memperdalam keilmuan tentang syarat dan proses distribusi antarnegara akan seperti apa. Harapannya, konsep akan sesuai dengan kondisi real baik negara asal maupun tujuan ekspor.

Jika barang dan jasa dari Indonesia sudah benar-benar mampu merajai dunia, timbullah rasa puas dan bangga akan identitas diri sebagai bagian dari Indonesia. Kesungguhan berkegiatan dengan landasan kecintaan kepada Indonesia, maka nasionalisme itu pun akan terwujud dengan sendirinya. Sekali lagi, “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.

(Helti Nur Aisyiah)


Ramadhan: Gairah Kewirausahaan

Memang, Ramadhan itu ajang meningkatkan kualitas ibadah, bukan kuantitas pengeluaran. Namun, jika kita kaitkan antara “ibadah” dan “pengeluaran”, akan menjadi hal yang sama dalam hal sedekah, yaitu pengeluaran yang bernilai ibadah. Sedekah di luar Ramadhan saja rutin, apalagi di Bulan Ramadhan yang jelas-jelas pahalanya berlipat ganda, sehingga orang akan cenderung memperbanyak sedekah di Bulan Ramadhan. Dengan demikian, banyaknya permintaan akan barang atau jasa, bukan hanya  dari konsumen yang langsung menikmati barang atau jasa, melainkan juga konsumen yang membeli barang atau jasa untuk keperluan sedekah.

Permintaan akan barang atau jasa pada Bulan Ramadhan mengalami peningkatan mengingat ada banyak tradisi di dalamnya, antara lain sahur on the road, buka bersama, takjilan, baju baru, Tunjangan Hari Raya (THR), mudik, dan fitrah. Setiap tradisi tersebut mempunyai sesuatu yang khas. Kekhasan tersebutlah yang mendorong masyarakat untuk bisa menangkap peluang berwirausaha.

Sahur on the Road, Takjilan, dan Buka Bersama
Sebenarnya, sahur on the road, takjilan, dan buka bersama (buber) tidak jauh beda dengan makan bersama pada umumnya. Yang membedakan adalah tentang waktu, tempat, dan hidangan. Sahur on the road jelas pada waktu jelang Subuh di jalan, takjilan jelang Maghrib di masjid, dan buber jelang Maghrib di rumah, restoran, atau sejenisnya.
Tentang hidangan, jelas ada yang khas dalam ketiga kegiatan tersebut, yaitu kurma dan kolak. Hidangan yang khas tersebut mendorong para produsen dan pedagang baik yang sudah ada maupun yang baru memulai berdagang mulai melakukan penawaran terhadap calon konsumen. Biasanya, promo kurma dilakukan jauh-jauh hari sebelum Ramadhan. sedangkan kolak rutin dijajakan rutin setiap sore di pinggiran sepanjang jalan.

Baju Baru
Kalau kita ingat lagu yang dibawakan Dea Ananda, salah satu personel trio kwek-kwek di era-90an, kita pasti mengiyakan lirik yang dibawakannya. Sepenggal lirik tersebut adalah:
            “Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya.”
Dalam lirik tersebut benar menunjukkan memang ada kebiasaan masyarakat Indonesia mengenakan baju baru di hari raya, Idul Fitri. Makna “baju” di sini tidak sebatas pada baju saja, melainkan meluas menjadi berbagai macam sandang. Misalnya, celana, rok, sepatu, sandal, kerudung, peci, dan sebagainya. Dari sinilah, muncullah banyak penjual pakaian. Apalagi, di era olshop seperti sekarang ini. Cukup berbekal handphone dan kuota internet, semua kalangan bisa berjualan pakaian.

Tunjangan Hari Raya
Tunjangan Hari Raya (THR) tidak selalu berbentuk cash money. Ada beberapa perusahaan yang memilih memberikan parcel kepada karyawan dan kliennya. Parcel tersebut biasanya berisi kebutuhan pokok dan pelengkap yang biasanya digunaka pada bulan Ramadhan dan hari raya. Melihat tradisi ini, muncullah jasa pembuatan parcel. Jasa tersebut pun tidak terbatas hanya membuatkan saja, melainkan dari mulai pembelian bahan hingga pengantaran ke alamat yang dituju.

Fitrah
“Fitrah” memang berasal dari Bahasa Arab yang salah satu artinya adalah keadaan yang suci. Namun, ada pergeseran makna dalam momen lebaran di Indonesia. Pada saat lebaran, ada tradisi bagi-bagi fitrah (uang saku) kepada anak-anak, baik anak sendiri, keponakan, cucu, anak tetangga, maupun anak kerabat, khususnya anggota keluarga lainnya yang belum bekerja. Biasanya, fitrah dibagikan berupa uang yang baru dicetak baik langsung maupun dikemas dalam bentuk amplop. Dari tradisi ini, ada peluang untuk membuka jasa penukaran uang baru. Ini bisa dilihat di pinggir-pinggir jalan raya banyak orang yang membuka jasa penukaran uang baru.

Mudik
Mudik memang menggembirakan, tetapi juga melelahkan. Menggembirakan karena bertemu dengan keluarga, terutama ayah dan ibu yang telah lama berpisah untuk urusan tertentu di tempat perantauan. Sebaliknya, dikatakan melelahkan karena munculnya masalah yang ditimbulkannya dari proses mudik tersebut –menjelang dan sesudah lebaran—selalu sama: kemacetan dan kecelakaan lalu lintas.  Dari kondisi ini, masyarakat juga bisa menyediakan solusi dengan menjual barang atau jasa untuk mendukung kelancaran dan kenyamanan pemudik.
Berbicara tentang mudik, pemerintah pun juga punya tradisi berbenah tentang infrastruktur yang biasa dilalui pemudik. Sebut saja, jalan tol atau bukan tol yang diperbaiki khusus untuk mempersiapkan momen mudik. Dengan adanya perbaikan, wajarnya akan menimbulkan kemacetan yang panjang dan berjam-jam. Kondisi yang membosankan ini, jelas memunculkan ide kreatif para remaja di sekitar jalan tersebut untuk menyediakan jalan alternatif dengan tarif tertentu.
Berdasarkan tradisi-tradisi di atas, Ramadhan memang secara tidak langsung membentuk fenomena sosial yang mendorong masyarakat untuk melihat dan merespon peluang usaha yang ada. Kondisi inilah yang memunculkan banyak penjual dadakan. Bukan hanya dari kalangan dewasa, melainkan anak-anak dan remaja. Apalagi, kewirausahaan sudah menjadi mata pelajaran dan mata kuliah dalam proses pembelajaran di sekolah maupun kampus. Lebih-lebih jika Ramadhan ini dijadikan momen penilaian proses pembelajaran oleh guru maupun di dosen yang berdampak akan lebih banyak lagi yang menjadi penjual dadakan.
Dengan adanya momen ini, harapannya berwirausaha tidak hanya terbatas pada bulan Ramadhan saja. Sebaiknya juga dilakukan dengan menganut prinsip going concern yang menyatakan bahwa unit usaha dapat tetap beroperasi dalam jangka waktu ke depan. Jika memang benar-benar terjadi, maka akan membantu pembangunan Indonesia, terutama dalam mengurangi pengangguran dan mendukung pembangunan ekonomi. Ini sejalan dengan apa yang telah dikatakan oleh salah satu tokoh ekonomi, Schumpeter, bahwa pengusaha merupakan inovator yang menjadi tokoh dalam mendorong pembangunan ekonomi.

(Helti Nur Aisyiah)