Hati ini bergitu rapuh. Sangat
amat sensitif dengan gejolak yang muncul dari orang sekitar. Rasanya ingin
mengutarakan kepada semua orang bahwa hati ini sedang sakit. Namun, tak semudah
itu mengutarakannya. Kita harus paham di mana dan sebagai apa kita berada. Kadang, menceritakan kesulitan kita akan
menjadi suasana menjadi pelik. Walaupun demikian, memang rasanya perlu
diceritakan. Dengan bercerita, plong rasanya. Dengan benda mati saja sudah
terasa ringannya. Apalagi, di hadapan makhluk yang responsif. Ada kan yang
sering berbicara sendiri di depan cermin atau di depan benda lain? Pasti ada.
Itulah hebatnya berbicara. Mengurangi perasaan yang dianggap menjadi beban
pikiran.
Jika posisimu sebagai anak, maka
ceritakan kepada orang tuamu. Itu solutif.
Jika posisimu sebagai istri, maka
ceritakan kepada suami. Itu solutif.
Namun, kadang kita enggan
menceritakan kepada orang tua maupun suami dengan dalih takut akan terjadi
sesuatu. Lebih baik dipendam saja. Kita lupa sampai kapan akan memendam? Akan banyak
lagi masalah yang datang. Apakah menunggu hingga penuh dan kemudian kita jatuh?
Silakan! Itu pilihan.
Ketakutan bercerita tentang
masalah kepada orang tua atau suami bisa diatasi dengan pemilihan kata, tinggi
rendah suara, ekspresi, dan waktu yang tepat. Setiap masalah ada solusi.
Masalahnya, bagaimana kita bisa merealisasikannya? Ngomong sih mudah. Bagaimana
jika setelah bercerita, hubungan kita jadi semakin runyam? Kembali lagi ke
solusi awal: kata, suara, ekspresi, dan waktu.