Pages

Monday, 7 November 2016

Takut Berbicara



Hati ini bergitu rapuh. Sangat amat sensitif dengan gejolak yang muncul dari orang sekitar. Rasanya ingin mengutarakan kepada semua orang bahwa hati ini sedang sakit. Namun, tak semudah itu mengutarakannya. Kita harus paham di mana dan sebagai apa kita berada.  Kadang, menceritakan kesulitan kita akan menjadi suasana menjadi pelik. Walaupun demikian, memang rasanya perlu diceritakan. Dengan bercerita, plong rasanya. Dengan benda mati saja sudah terasa ringannya. Apalagi, di hadapan makhluk yang responsif. Ada kan yang sering berbicara sendiri di depan cermin atau di depan benda lain? Pasti ada. Itulah hebatnya berbicara. Mengurangi perasaan yang dianggap menjadi beban pikiran.

Jika posisimu sebagai anak, maka ceritakan kepada orang tuamu. Itu solutif.
Jika posisimu sebagai istri, maka ceritakan kepada suami. Itu solutif.

Namun, kadang kita enggan menceritakan kepada orang tua maupun suami dengan dalih takut akan terjadi sesuatu. Lebih baik dipendam saja. Kita lupa sampai kapan akan memendam? Akan banyak lagi masalah yang datang. Apakah menunggu hingga penuh dan kemudian kita jatuh? Silakan! Itu pilihan.

Ketakutan bercerita tentang masalah kepada orang tua atau suami bisa diatasi dengan pemilihan kata, tinggi rendah suara, ekspresi, dan waktu yang tepat. Setiap masalah ada solusi. Masalahnya, bagaimana kita bisa merealisasikannya? Ngomong sih mudah. Bagaimana jika setelah bercerita, hubungan kita jadi semakin runyam? Kembali lagi ke solusi awal: kata, suara, ekspresi, dan waktu.