“Jangan
lihat aku sekarang! Lihatlah aku dari sekarang hingga aku lelah menata masa
depan.” Penilaian terhadap sekarang sering dilakukan sesaat tanpa melibatkan
peranan masa lalu dan masa depan. Padahal, masa lalu, masa sekarang, dan masa
depan adalah rangkaian yang tidak terpisahkan. Kita bisa menjadi yang sekarang
karena masa lalu dan masa depan ditentukan oleh kita yang sekarang.
Diremehkan
orang itu biasa. Bahkan, kadang orang lain ketika meremehkan kita, dia tidak
sadar sedang melakukannya. Asal njeplak begitu saja. Asal berkomentar tanpa teding aling-aling. Begitulah orang Jawa
mengatakan. Padahal, kita yang sekarang terbentuk dari benturan dari kita di
masa lalu. Memang perjuangan tidak perlu diceritakan, tetapi begitulah keadaan.
Sering orang sekitar melakukan judgement
atas apa yang dia lihat sekarang tanpa melibatkan perasaan. Anggap saja ujian.
Tenang!
Allah tidak tidur. Berdo’alah, maka akan Aku kabulkan. Kira-kira seperti itulah
terjemahan dari salah satu ayat dalam Al-Qur’an. Berdo’alah, berdo’alah, dan
berdo’alah. Bukankah dunia milik Tuhan? Mengapa kita seakan menjadi korban
perasaan atas komentar orang. Jika kita tidak yakin akan do’a yang akan
dikabulkan, ingatlah sosok ibu. Do’a ibu tanpa sekat menuju Tuhan. Bisa
dibuktikan.
Sesungguhnya
hinaan dan cercaan bagai pengasah pisau. Semakin banyak diasah, semakin
runcing. Sebaliknya, menyerahlah dengan pujian. Kadang pujian membuat diri kita
terlena dan tidak termotivasi untuk berlari mengejar mimpi. Atau, hanya sekedar
balas dendam terhadap orang yang menyepelekan capaian hidup kita. Balas dendam
yang terbaik bisa dilakukan dengan cara membentuk diri kita menjadi yang
terbaik di mata mereka hingga tidak ada lagi kata yang mewakili untuk
meremehkan kita lagi. Terakhir kali, memang sukses butuh proses. Bersabarlah!